Bisnis.com, JAKARTA – Twitter Inc. menangguhkan ratusan akun yang terkait dengan penyebaran klaim palsu tentang kegagalan komunikasi selama protes di Washington.
Dilansir dari Bloomberg, perwakilan Twitter mengatakan pada Selasa (2/6/2020) bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari penyelidikan aktif terhadap tagar #dcblackout, menyusul pelanggaran kebijakan perusahaan yang melarang spam dan manipulasi platform.
Ini adalah contoh terbaru dari Twitter yang menindak pelanggaran konten sejak protes dimulai minggu lalu setelah kematian George Floyd, seorang pria Afrika-Amerika, oleh petugas kepolisian. Akun yang terkena tindakan tegas ini berkisar dari akun spam yang dihapus pada Senin hingga akun Presiden Donald Trump.
Pada 31 Mei, Trump me-retweet akun yang menyertakan tagar #QAnon dalam bio-nya, sebuah referensi ke grup yang meyakini adanya konspirasi yang sedang berusaha melemahkan presiden dan para pendukungnya.
Trump mem-posting ulang sebuah tweet dari akun yang mempromosikan moto grup dan memasukkan video pidato kampanye Trump. Twitter segera menangguhkan akun itu, mengatakan bahwa pemiliknya sebelumnya telah ditangguhkan dan dilarang membuat akun baru.
Twitter telah memantau akun Trump dengan cermat sejak pertama kali menerapkan label pada tweet yang melanggar kebijakan misinformasi perusahaan pada 26 Mei. Tiga hari kemudian, Twitter memberikan pemberitahuan pelanggaran peraturan pada tweet Trump lainnya yang mengkritik aksi kekerasan di Minnesota yang berisi: “ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai."
Anggota Kongres Florida Matt Gaetz menjadi politisi terkemuka AS kedua yang disembunyikan teetnya di platform media sosial ini karena pelanggaran aturannya terhadap dukungan tindak kekerasan.
"Sekarang kita dengan jelas melihat Antifa sebagai teroris, dapatkah kita memburu mereka seperti kita melakukannya di Timur Tengah?" ungkap Gaetz dalam tweet—nya.
Tagar #dcblackout, yang cenderung tren di AS pada hari Senin, pertama kali di-tweet oleh akun yang memiliki tiga pengikut. Tetapi yang lain men-tweetnya sekitar 500.000 kali dalam waktu sembilan jam dari postingan awal, menurut Washington Post.
Tagar tersebut dikaitkan dengan klaim palsu bahwa pihak berwenang memblokir komunikasi untuk menghalangi pengunjuk rasa.
Pada Senin pagi, Twitter juga mengambil tindakan terhadap tagar lain yang mendorong pengguna untuk berlutut di leher orang-orang, meniru tindakan petugas polisi yang dituduh melakukan pembunuhan tingkat tiga dalam kematian Floyd.
Perusahaan itu mengatakan memblokir tagar itu agar tidak muncul sebagai hasil pencarian otomatis dan juga memblokirnya dari tren.