NPL Fintech Melesat, Ini Penyebabnya

Akbar Evandio
Selasa, 4 Februari 2020 | 20:41 WIB
Ilustrasi solusi teknologi finansial/flickr
Ilustrasi solusi teknologi finansial/flickr
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Rasio kredit bermasalah (non performing ratio/NPL) perusahaan teknologi finansial (tekfin/fintech) tercatat terus mengalami kenaikan dalam setahun terakhir. Tahun ini NPL tekfin diperkirakan menembus 3 persen-5 persen.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat NPL atau tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman (TWP) 90 hari P2P lending pada Desember 2018 berada di level 1,45 persen.  Capaian itu meningkat pada Maret 2019 menjadi 2,62 persen, dan berakhir di level 3,65 persen pada Desember 2019

Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengatakan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi peningkatan NPL. Pertama adalah dengan meningkatnya jumlah fraudster (identitas aspal atau identitas orang lain) sebagai peminjam.

Kedua terdapat peminjam yang melewati batas pinjaman (over debt) karena meminjam ke banyak pelaku pinjaman daring.

Ketiga, adalah jumlah penyelenggara P2P lending yang terdaftar meningkat. Namun, khusus penyelenggara yang baru terdaftar dan beroperasi, masih mengalami pembelajaran pada mesin cerdas di platform mereka.

Keempat, adanya kenaikan jumlah pinjaman dan khususnya penetrasi penyaluran pinjaman ke daerah daerah yang baru seingga belum meratanya ekosistem berbasis digital di daerah.

Sementara yang terakhir, tingkat literasi keuangan di daerah daerah yg belum merata dan masih cukup rendah,” katanya, Selasa (4/2/2020).

Sementara itu, Tumbur memprediksi bahwa tren NPL terhadap tekfin pada 2020 akan berada pada rentang 3-5% pada akhir tahun 2020. Kendati demikian dia menekankan bahwa angka tersebut masih baik karena bakal diiringi oleh peningkatan jumlah pinjaman, peningkatan jumlah peminjam baru, dan penyebaran penyaluran pinjaman ke daerah daerah yang baru.

Menurutnya, P2P lending memiliki ruang untuk menyasar para masyarakat yang masuk kategori unbankable dan undeserved. Sebab, P2P lending tidak menggunakan jaminan, hanya mengolah berbagai data sebagai analisis mengukur risiko suatu pinjaman.

“Pertama, harus diketahui bahwa industri P2P beroperasi pada segmen yang beresiko tinggi yakni untuk kategori masyarakat “unbanked dan underserved” dengan menggunakan metode analisa berbasis teknologi dan kecerdasan buatan yang berbeda dengan lembaga keuangan konvensional,” terangnya saat dihubungi Bisnis.

Dia menekankan, terkait dengan TWP, akan disesuaikan oleh kenyamanan lender dalam menyalurkan pinjaman. Apakah lender ingin dapat bunga yang besar maka risiko yang akan ditanggung akan lebih besar.

 “Finansial teknologi merupakan serambi yang mempertemukan antara penerima pinjaman dan pemberi pinjaman. Potensi yang bisa dihasilkan bila fintech sudah merambah ke berbagai daerah akan menurutnkan tingkat NPL,” jelasnya.

Ke depan, dia pun berharap pemerintah segera mengesahkan undang-undang Perlindungan Data Pribadi dan membentuk undang-undang mengenai tekfin agar industri ini dapat lebih kuat.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Akbar Evandio
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper