Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memastikan bahwa saat siaran anolog telah beralih ke digital, pemerintah tidak akan membuka slot kanal siaran baru, untuk menjaga iklim persaingan industri penyiaran agar tetap sehat.
Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Geryantika Kurnia mengatakan pihaknya terus mendorong peralihan siaran analog ke digital atau ASO.
Adapun ketika siaran analog berhasil dimigrasikan ke siaran digital, yang rencananya pada 2022, pemerintah memastikan tidak akan membuka slot baru untuk penyiaran. Siaran digital tetap akan diisi oleh oleh lembaga penyiaran swasta yang ada saat ini.
Seperti diketahui peralihan dari analog ke digital membuat penggunaan pita frekuensi di 700 MHz, makin hemat dan menyisakan banyak slot kosong. Saat analog, umumnya pita selebar 8 MHz hanya digunakan untuk satu kanal. Ketika beralih ke digital pita sebesar 8 MHz dapat digunakan oleh 13 kanal, sehingga melahirkan digital deviden sebesar 122 MHz ketika ASO terjadi.
“Kami tidak akan buku dahulu tv baru walaupun slotnya banyak karena kami memperhitungkan kesehatan industri. Misalnya Bali, tv analog masuk ke digital, kemudian ada slotnya, kalau kami dari pemerintah tidak akan buru buru dibuka untuk tv baru karena harus melihat kesehatan industri di Bali,” kata Gery kepada Bisnis.com beberapa waktu lalu.
Gery tidak ingin kejadian penyiaran seperti di Jakarta terulang kembali. Saat itu pemerintah tanpa melihat permintaan dan suplai, membuka slot baru sehingga jumlah pemain di industri penyiaran menjadi sekitar 25 -30 lembaga penyiaran. Alhasil, kompetisinya terlalu ketat tanpa melihat kesehatan industri.
Dia menambahkan mengenai konten siaran tv digital, Kemenkominfo menyerahkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk memastikan konten yang ditampilkan ke masyarakat bermutu.Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil Tobing mendukung langkah tersebut. Neil menceritakan dahulu ketika industri penyiaran baru berkembang, orang berlomba-lomba mendapatkan izin TV, dengan asumsi jika tidak sanggup meneruskan pembayaran dapat dijual. Hasilnya, muncul banyak lembaga penyiaran.
Hal serupa, kembali terjadi saat menuju era digital. Regulasi yang ada saat ini pun tidak mengatur mengenai peluang usaha dan tidak memberi batasan seperti mewajibkan pemohon izin untuk membuktikan kesanggupan modal, SDM dan teknologi untuk menggelar siaran sehingga jumlah perusahaan penyiaran tumbuh pesat.
Padahal, kata Neil, bisnis penyiaran itu bukan bisnis murahan, Bisnis penyiaram membutuhkan pendanaan secara intensif dengan pengembalian investasi yang lama sehingga dibutuhkan stamina permodalan yang cukup.
“Setuju [ditutup perizinan] dan kalau memang setelah berjalan ternyata ada peluang usaha sehingga dimungkinkan pemain baru masuk, perijinan dibuka kembali tetapi dengan syarat yang ketat supaya tidak terjadi pemborosan sumber daya,” kata Neil kepada Bisnis.
Dia mengatakan di negara maju sebelum migrasi ke digital, lembaga penyiaran berbasis jaringan paling banyak 3 stasiun seperti di Jerman dan Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia, terdapat 14 stasiun tv, belum termasuk yang lokal.
Dengan jumlah yang banyak tersebut, industri penyiaran juga diterpa oleh penetrasi over-the-top (OTT) dan siaran digital asing yang membuat pertukaran iklan atau NEX AdEx tumbuh negatif dalam 3 tahun terakhir.
“Pemerintah tidak menciptakan level of playing field yang sama sehingga menyebabkan pemain lokal banyak berguguran. Wajar sekarang harga iklan stagnan dan diskon bertambah,” kata Neil.
Ketua Bidang Penyiaran Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Hardijanto Saroso mengatakan bahwa pemerintah perlu mermperhitungkan daya dukung ekonomi dengan jumlah lembaga penyiaran yang beroperasi.
Berkaca dari kasus Thailand, kata Hardijanto, jumlah tv jaringan di sana sempat menyentuh angka 24 stasiun jaringan, namun karena tidak didukung oleh ekonomi yang kuat, maka banyak stasiun yang gugur.
“Stasiun yang tadinya untung menjadi rugi karena banting-bantingan harga iklan,” kata Hardijanto.
Dia menjelaskan di Indonesia dalam mengukur nilai iklan yang beredar menggunakan laporan Nielsen sebagai salah satu rujukan.
Padahal, laporan Nielsen hanya memaparkan nilai penjualan kotor atau gross, yaitu jumlah kemunculan iklan dikali dengan jumlah orang yang menonton iklan. bukan nilai yang diterima oleh para pemain di industri penyiaran.
Misalnya, iklan A muncul sebanyak 10 kali, setiap 1 kali muncul dihitung 1 juta maka yang diperoleh lembaga penyiaran sebesar Rp10 juta. Padahal, banyaknya jumlah kemunculkan iklan bisa disebabkan oleh promo spot yang diberikan oleh lembaga penyiaran kepada pemasang iklan.
Sehingga jika di laporan Nielsen pada 2019 menyebutkan bahwa jumlah nilai kotor iklan atau gross mencapai Rp130 triliun, maka uang atau nilai rata-rata yang diterima oleh lembaga penyiaran di industri tidak sebesar itu, hanya sekitar 14%-17% saja disebabkan jumlah pemain yang terlalu banyak dan promo.
Nielsen adalah sebuah perusahaan yang fokus dalam riset pemasaran hingga televisi.
“Kalau beli dua spot iklan, saya kasih tiga. Bahkan sampai pada titik durasi konten siaran dipotong untuk iklan. Karena kalau tidak seperti itu, tidak bisa hidup perusahaan. Jadi pilih memecat ribuan orang atau memangkas konten,” kata Hardijanto.
Dia menambahkan Indonesia yang saat ini masih menyelenggarakan siaran analog, memiliki terlalu banyak pemain.
Dia berpendapat bahwa Indonesia berbeda dengan negara lain. Jika negara lain menerapkan persaingan banyak pemain atau multiplayer ketika siaran digital digelar, Indonesia sudah berpredikat multiplayer sejak siaran analog digelar.
“Negara kita itu merupakan negara dengan pemain televisi terbanyak di dunia, bisa dibayangkan, ada yang mengalahkan yaitu Bangladesh, tapi dia hanya satu pulau luasnya,” kata Hardijanto.
Tidak hanya itu, di luar negeri meskipun multiplayer, namun pemain baru harus membuka kanal yang siaran yang bervariasi, tidak diperbolehkan menggarap sektor konten yang serupa misalnya hiburan saja.
Hal tersebut tidak terjadi di Indonesia, dengan jumlah kanal yang banyak, konten yang disajikan juga seragam. “Di sini cenderung mengincar sektor yang paling gemuk, yaitu sinetron yang menyasar segmen penonton kalangan C dan D,” kata Hardijianto.