Industri PEVC di Asia Tenggara Masih Bergairah

Deandra Syarizka
Senin, 9 September 2019 | 06:44 WIB
Ilustrasi investasi/Istimewa
Ilustrasi investasi/Istimewa
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Lanskap industri Private Equity & Venture Capital (PEVC) di Asia Tenggara masih bergairah dan terus berkembang di tengah-tengah tantangan ekonomi global yang terjadi.

CEO Preqin Mark O’Hare menyatakan kontribusi dana kelolaan PEVC di Asia Tenggara kurang dari 1% dari lanskap industri PEVC global di seluruh dunia pada 2018 yang mencapai US$3,6 triliun. Meski demikian, industrinya tumbuh cepat. Dalam periode antara 2017 dan 2018, dana kelolaan PEVC  Asean tumbuh 8,6%, dari US$26 miliar menjadi US$28 miliar.

“Asia Tenggara telah menghasilkan unicorn yang kuat dan mentransformasi sektor di mana mereka beroperasi. Ini termasuk perusahaaan teknologi transportasi asal Singapura Grab, dan juga perusahaaan teknologi perjalanan asal Indonesia seperti Traveloka dan platform dagang-el Tokopedia. Nantinya akan semakin banyak unicorn yang lahir di kawasan ini,” ujarnya, seperti dikuip dalam laporan Preqin bertajuk “Private Equity & Venture Capital inSoutheast Asia” yang diterima Bisnis.com, Minggu (8/9).

Preqin mendata sebanyak 430 fund manager  PEVC berbasis Asean. Hasilnya mencerminkan Singapura masih menjadi mayoritas 60% dari para manager tersebut, mengelola dana hingga US$19 miliar, diikuti oleh Malaysia dengan dana kelolaan mencapai US$6 miliar dan Vietnam di posisi ketga dengan dana kelolaan US$1,5 miliar. Sementara itu,  dana kelolaan PEVC di indonesia tercatat sebanyak US$0,8 miliar, yang dikelola oleh 38 fund managers, dan 8 investor.

Menurutnya,terlepas dari volatiltas ekonomi global, investor tetap bergairah dan penghimpunan modal teap berjalan.  Preqin mencatat, sebanyak enam pendanaan telah mencapai kesekapakatan akhir sejak awal 2019, menghimpun total US$0,5 miliar, mirip dengan total pendanaan pada 2018.

Pada 2018, tercatat sebanyak 17 perusahaan modal ventura yang fokus pada Asean mencapai kesepakatan akhir, mengamankan agregat hingga US$0,9 miliar.  Investor menunjukkan ketertarikan yang tinggi kepada perusahaan rintisan tahap awal, yang jumlah pendanaannya meningkat dari 21% pada 2017, menjadi 29% pada 2018.

Dalam periode yang sama, nilai pendanaan Series B dan C meningkat dari US$0,6 miliar menjadi US$1 miliar. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendanaan semakin menipis, dan pihaknya memprediksi  masih akan lebih banyak pendanaan terkumpul di Asean dalam ronde selanjutnya pada masa mendatang.

Dalam hal jumlah kesepakatan, Preqin mencatat telah terjadi 222 kesepakatan senilai total US$3,4 miliar sejak awal 2019, dibandingkan semester pertama tahun lalu sebanyak 220 pendanaan senilai US$3,1 miliar. Singapura masih menjadi hub regional untuk pendanan perusahaan rintisan. Negara tersebut telah menghimpun US$2,4 miliar investasi dalam perusahaan modal ventura sepanjang 2019, meningkat dibandingkan US$1,3 miliar pada tahun lalu.

Kesepakatan besar yang terjadi baru-baru ini dalam lanskap perusahaan modal ventura adalah akuisisi  perusahaan teknologi Singapura bernama Bigo Technology Pte.Ltd senilai US$1,5 miliar pada Maret 2019. Didirikan sjak 2014, Bigo Technology mengoperasikan jasa penyiaran, termasuk aplikasi live streaming, dan telah berhasil memiliki lebih dari 400 juta pengguna aktif bulanan di seluruh dunia. Perusahaan yang mengakuisisi Bigo adalah perusahaan teknologi asal China bernama YY Inc.

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menyatakan Indonesia kini menjadi pasar paling seksi bagi perusahaan modal ventura. Namun sedekade lalu, ketika East Ventures berdiri, Indonesia masih teritori baru bagi perusahaan modal ventura.

“Sebagai investor pionir pada perusahaan rintisan tahap awal, kami meyakini bahwa ada potensi besar di sini, tetapi sedkit yang dapat melihat atau mengerti apa yang kami coba lakukan. Kami harus membuktikan pada dunia bahwa Indonesia memiliki sektor teknologi yang menunggu untuk dikembangkan,” ujarnya.

Dia menambahkan, dengan populasi mencapa 261 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu dari pasar teknologi terbesar di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Mengingat Bahasa Indonesia, seperti halnya Bahasa Inggris, menggunakan alphabet latin, mudah bagi warga Indonesia untuk mengadopsi produk teknologi dan menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter, dan banyak yang mengakses web untuk pertama kalinya melalui Blackberry dan telepon genggam.

East Ventures memulai portfolionya dengan berinvestasi di Tokopedia dan Traveloka, pada 2013 perusahaan mengganti fokusnya pada perusahaan rintisan SaaS (Software as a Service) untuk membantu memberdayakan pelaku UMKM. Pada 2014, fokus perusahaan pindah berinvestasi ke O2O (Online-to-Offline)  Commerce.

Perusahaan telah menyelesaikan lebih dari 20 exit dan menarik lebih dari US$3,5 miliar pendanaan lanjutan. Salah satu exit-nya adalah Disdus, yang diakuisisi oleh Groupon pada 2011 sebagai bagian dari ekspansi bisnisnya ke Asia Tenggara. Selain itu, exit lainnya adalah akuisisi perusahaan 020 Kudo yang diakuisisi oleh Grab dengan nilai yang dilaporkan lebih dari US$100 juta.

“Kami bersemangat mengenai potensi unicorn lainnya seperti Ruangguru, pendidikan teknologi pendidikan, IDN Media, perusahaan media digital yang fokus pada millenial, dan Sociolla, platform kecantikan yang mencakup portal media dan integrasi online dan offline,” ujarnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper