Mengapa Pornografi Sulit Diberangus? Ini Penjelasan Menkominfo Rudiantara

Rahmad Fauzan
Senin, 12 Agustus 2019 | 17:08 WIB
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/6/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/6/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Penanganan konten-konten terindikasi pornografi terus menjadi perdebatan. Konten-konten berpolemik seperti halnya unggahan YouTuber bernama Kimi Hime pun akhirnya mendarat di ruang pembahasan dengan melibatkan banyak pihak, baik itu ahli hukum, penegak hukum, maupun pemerintah.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, terdapat hal yang belum paten dalam penerapan aturan soal pornografi di Indonesia. Tidak seperti kasus terorisme, narkotika, maupun peredaran obat, aturan mengenai pornografi belum mempunyai badan khusus untuk melakukan penanganan.

"Nah, kalau yang berkaitan dengan asusila atau pornografi, tidak ada lembaga khusus yang menangani. Dan Kemenkominfo selalu mengedepankan pembinaan, terutama untuk sesuatu yang sifatnya tidak bertentangan langsung dengan pornografi," ujar Rudiantara dalam acara Sarasehan Nasional Penanganan Konten Asusila Di Dunia Maya di Jakarta, Senin (12/8/2019).

Saat ini, lanjut Rudiantara, kasus-kasus yang berkaitan dengan konten pornografi masih ditangani dengan menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016, meskipun hal yang sebenarnya menjadi fokus utama dari aturan tersebut adalah transaksi elektronik.

Sementara jika dilihat dari segi fungsional, penanganan konten-konten yang terindikasi pornografi oleh Kemenkominfo sendiri tidak bisa diharapkan lebih dari upaya pembinaan.

Sementara itu, sosiolog Daisy Indira menilai sulitnya penanganan konten-konten terindikasi pornografi di Indonesia terjadi karena 3 hal; pertama, belum adanya batasan hukum berupa panduan etika berinteraksi yang jelas; kedua, rendahnya literasi digital yang menyebabkan kurangnya tanggung jawab warga net; dan ketiga, terjadinya komodifikasi terhadap konten-konten seksual.

"Terdapat jaringan raksasa dalam ditribusi pornografi di Twitter, di samping jaringan berukuran sedang dan kecil," ujar Daisy (12/8/2019).

Dia melanjutkan, terdapat tiga aktor yang terlibat dalam proses komodifikasi tersebut, yakni publisher, retweeter, dan konsumer.

Dalam hal pornografi, ilmu sosiologi sendiri dikatakan masih mempertanyakan beberapa hal, yakni paralelitas antara dunia nyata dan dunia maya dan makna istilah asusila bagi masyarakat dengan fakta bahwa nilai merupakan suatu hal yang mengikuti perkembangan zaman.

Terkait dengan kasus Kimi Hime yang sempat ramai beberapa waktu lalu, Daisy menilai cukup sulit untuk mengatakan bahwa konten yang dibuat tergolong sebagai konten pornografi.

Pasalnya, Kimi Hime selaku pembuat konten dinilai mampu membuat konten yang sesuai dengan batasan-batasan di ruang digital sehingga sulit untuk mengatakan bahwa konten tersebut menyalahkan hukum normatif.

Namun, terkait dengan kemungkinan adanya anak-anak dibawah umur yang mengakses konten tersebut, pembelaan pihak Kimi bahwa berdasarkan statistik pengikut akun miliknya sudah berusia dewasa dinilai kurang tepat.

Pasalnya, di dalam dunia maya, identitas dapat dimanipulasi dan anonimitas merupakan salah satu karakteristik utama dari dunia digital.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rahmad Fauzan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper