Bisnis.com, JAKARTA - Revolusi teknologi mengubah dunia dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setelah kita menghadapi masa-masa awal revolusi internet dimana teknologi digital memungkinkan terciptanya platform sosial dan digital yang menghubungkan orang dimanapun dan kapanpun, kini kita tengah menghadapi gelombang internet berikutnya yaitu internet of things (IoT) yang tidak hanya menghubungkan antar manusia namun juga manusia dengan benda atau mesin.
Berbagai studi di dunia seperti IHS Markit dan UN Population Stat memperkirakan 5 miliar orang akan terkoneksi dengan 30-50 miliar benda dan mesin pada tahun 2020. Bahkan IHS Markit memperkirakan perangkat yang terhubung akan mencapai 125 miliar pada 2030 dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 12 persen. Semakin banyaknya orang dan perangkat yang terhubung menyebabkan arus lalu lintas data yang besar atau sering disebut sebagai big data.
“Dengan pertumbuhan lalu lintas data yang terus meningkat, permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana memastikan koneksi yang lebih cepat dan mengurangi latensi data (lambatnya komunikasi data melalui jaringan)," ujar Country President Schneider Electric Indonesia, Xavier Denoly dalam rilis yang diterima Bisnis, Kamis (9/5/3019).
"Bagi pelaku industri, koneksi data yang lambat dan latensi yang tinggi akan berdampak langsung terhadap performa bisnis dan dampak finansial. Untuk itu dibutuhkan data center yang lebih andal, efisien, dan berkelanjutan."
Prinsip dasar perangkat IoT adalah perangkat yang selalu terhubung internet. Perangkat ini akan mengirimkan data terus menerus ke sebuah server pusat, lalu dari server itulah kita bisa mengamati dan melakukan analisa terhadap data yang dikirimkan secara realtime. Lalu bagaimana jika koneksi perangkat tersebut tersendat? Tentu saja analisa data akan terhambat, karena data tidak bisa terkirim realtime.
Baca Juga ASIAN MEDIA AWARD 2019: Bisnis Indonesia Raih Silver untuk Kategori Best in Overall Design |
---|
“Ledakan big data akibat pertumbuhan pesat IoT adalah hal yang tak bisa dihindari. Sudah saatnya perusahan secara proaktif mentransfromasikan data center dan teknologi pendukung yang dimilikinya untuk mengurangi latensi. Salah satu solusi yang efektif adalah edge computing yang mampu mendistribusikan beban komputasi lebih dekat ke perangkat sehingga dapat mengurangi masalah latensi secara signifikan," lanjut Xavier.
Dengan edge computing bisa mengirimkan data langsung dari perangkat ke pusat data center yang jauh lokasinya. Sedangkan desentralisasi data akan menjadi strategi untuk mengurangi latensi dengan mengirimkan data ke micro data center yang lokasinya lebih dekat.
Micro data center merupakan data center berukuran lebih kecil dengan sistem keamanan modular dan kompak. Langkah ini bisa menjadi solusi bagi perusahaan yang memiliki banyak kantor cabang dan tidak ingin terbebani kinerja server dan jaringan di pusat data center. Micro data center cocok diterapkan untuk perusahaan kecil dan menengah.
Pergerakan industri ke depannya akan menunjukkan pergeseran ke ekosistem hybrid cloud yang terdesentralisasi sekaligus dapat menjawab permasalahan atas keamanan data dan biaya pembangunan data center yang besar. Kedua hal ini biasanya menjadi masalah terbesar bagi pelaku bisnis dalam menerapkan public cloud dan on-premise data center.
“Micro data center dapat menjadi solusi mudah dan hemat biaya untuk kebutuhan kapasitas data center dimana saja dan kapan saja dibutuhkan dengan latensi data yang lebih rendah, dan perawatan yang mudah," tutup Xavier.