Negeri Kaya Miskin Inovasi

Yustinus Andri DP
Selasa, 26 Maret 2019 | 11:35 WIB
Pengunjung melihat desain inovasi gerbong LRT karya mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada Science and Technopark (STP) ITS di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/1/2019). Peresmian STP ITS tersebut untuk mendukung inovasi dan komersialisasi teknologi, pengembangan kreasi usaha dan ekonomi dari hasil hilirisasi riset oleh dosen dan mahasiswa dalam bidang otomotif, kemaritiman, industri kreatif, permukiman dan lingkungan, ICT serta Nano Teknologi./ANTARA-Moch Asim
Pengunjung melihat desain inovasi gerbong LRT karya mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada Science and Technopark (STP) ITS di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/1/2019). Peresmian STP ITS tersebut untuk mendukung inovasi dan komersialisasi teknologi, pengembangan kreasi usaha dan ekonomi dari hasil hilirisasi riset oleh dosen dan mahasiswa dalam bidang otomotif, kemaritiman, industri kreatif, permukiman dan lingkungan, ICT serta Nano Teknologi./ANTARA-Moch Asim
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Selama ini riset hanya dipandang sebagai alat kelengkapan pemerintah untuk pengambilan keputusan. Terkadang, riset pun tak dilirik sama sekali. Riset hanya dianggap sebuah aktivitas yang hanya menghasilkan output berupa produk.

Padahal, pemerintah telah menganggarkan dana riset sekitar Rp26 triliun dalam APBN tahun ini, naik dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp24,6 triliun. Kendati demikian, penggunaan dana riset itu belum optimal lantaran pagunya tersebar di berbagai kementerian dan lembaga.

Salah satu aliran dana riset tercurah di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekditi) yang memperoleh anggaran riset sekitar Rp2,5 triliun pada tahun ini, dari tahun lalu senilai Rp1,75 triliun.

Pemerhati pendidikan dan pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong Doni Koesoema berpendapat, produktivitas riset yang dihasilkan oleh Indonesia masih tergolong rendah. Alasannya, pendanaan dan kurikulum dasar pendidikan di Tanah Air tidak mendorong orang untuk menghargai kegiatan riset.

Selain itu juga, sebutnya, banyak periset domestik yang kurang percaya diri untuk melakukan penelitian. Rasa percaya diri ini penting untuk melakukan riset yang tidak sekadar berakhir sebagai publikasi, tetapi sebagai inovasi. “[Ilmuwan Indonesia] tidak biasa untuk melakukan riset sehingga juga tak banyak riset yang muncul,” ujarnya kepada Bisnis, belum lama ini.

Rendahnya riset yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh rasio dosen dengan mahasiswa yang tidak ideal di perguruan tinggi. Ketimpangan rasio ini membebani peneliti karena mereka harus merangkap sebagai dosen dengan beban administrasi berupa jam pengajaran. Beban mengajar yang tinggi ini pun berdampak pada produktivitas penelitian yang menurun.

“Tidak ada posisi peneliti yang hanya melakukan penelitian. Peneliti yang bukan staf pengajar itu tidak ada yang mau karena posisi itu tidak tetap dengan ketidakjelasan batas waktu, jenjang karier, dan insentif sehingga jarang yang murni peneliti,” tuturnya.

Senada, pengamat pendidikan dari Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Budi Trikorayanto menuturkan, kebanyakan riset yang ada di Indonesia tak terarah dan hanya formalitas sebagai bagian dari skripsi (S1), thesis (S2) dan disertasi (S3) yang merupakan persyaratan untuk lulus dari jenjang pendidikan tinggi.

Selama ini, sambungnya, hasil riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi pun belum memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat sehingga diperlukan link and match antara dunia industri dengan perguruan tinggi, serta bagian penelitian dan pengembangan (litbang) kementerian.

“Riset yang dilakukan per orang pada umumnya cenderung untuk kesenangan peneliti, bukan untuk sebuah inovasi,” katanya.

Menurutnya, hasil penelitian pun perlu dipublikasikan agar menarik perhatian dan dana riset disosialisasikan, baik yang dari pemerintah maupun swasta.

Pemerintah perlu membuat mahadesain penelitian nasional yang diprioritaskan untuk tujuan kontribusi terhadap pembangunan nasional dan kebijakan pemerintah.

“Jarang hasil riset perguruan tinggi yang digunakan untuk pengambilan keputusan pemerintah. Ini yang sangat disayangkan.”

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Budi Djatmiko mengungkapkan, rendahnya riset di Indonesia juga dipicu oleh isu perguruan tinggi swasta yang kesulitan memperoleh pendanaan dari Kemenristekdikti. Hal itu dikarenakan riset dari perguruan tinggi swasta yang harus dikompetisikan, berbeda dengan perguruan tinggi negeri yang tak harus melalui kompetisi.

Selain itu, saat riset itu telah selesai, peneliti harus melaporkan ke pemerintah. Pelaporannya sangat rumit terkait dengan detail pengeluaran selama riset sehingga menyebabkan banyak dosen yang enggan melakukan riset. “Biaya riset Rp30 juta hingga Rp50 juta tetapi pelaporannya lebih tebal dari risetnya. Ini harus dibenahi,” tegasnya.

Terkait dengan tema yang dipilih untuk diteliti, dia mengakui jarang perguruan tinggi yang melakukan riset yang aplikatif atau sesuai dengan kebutuhan industri. Menurutnya, ke depan, penelitian harus berbau teknologi mengingat era Revolusi Industri 4.0 makin dekat.

Lebih lanjut, Budi menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan yang mewajibkan kepada industri untuk bekerja sama perguruan tinggi dalam melakukan riset. Hal ini dikarenakan banyak industri yang melakukan riset sendiri atau menggunakan lembaga asing.

Dia juga berharap pemerintah dapat meningkatkan biaya riset di Indonesia yang baru sekitar 1% dari APBN, sangat kecil dibandingkan dengan negara lain. Idealnya dana riset di Indonesia sebesar 5% dari APBN. Kendati demikian, besaran biaya riset ini harus berbanding lurus dengan jumlah riset yang dihasilkan.

“China, Korea [Selatan], Jepang, dan Singapura biaya risetnya berkisar antara 5%—6% dari APBN,” ucap Budi.

Dari dana itu pun, sebagian besarnya adalah untuk operasional dan belanja pegawai, hanya sebagian kecil dialokasikan untuk riset. Selain pendanaan, masalah lain adalah tidak adanya rencana jangka panjang, terpusat, dan berkesinambungan terkait riset di Indonesia. Rendahnya kepedulian terhadap penelitian adalah wujud dari kurangnya pemahaman terhadap pentingnya penelitian.

PERAN INDUSTRI

Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Handoko mengakui anggaran riset ini berada di sejumlah kementerian dan lembaga.

Tahun ini, anggaran LIPI senilai Rp1,5 triliun ditargetkan untuk menghasilkan antara lain 300 paten, 40 lisensi ke industri, dan ratusan publikasi terindeks global. Adapun, sepanjang tahun lalu terdapat 200 paten, 18 hak cipta dan 1.120 publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh LIPI.

“Sepanjang 2015—2018, terdapat 493 paten dan 28 hak cipta. Lalu, 2014—2018 terdapat 7.994 publikasi ilmiah yang telah dihasilkan,” tutur Laksana.

Menanggapi isu tersebut, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati menguraikan, pemerintah tengah mengkaji perubahan regulasi untuk mendorong partisipasi industri dalam hal pendanaan.

Pasalnya, keterlibatan industri masih sangat rendah, baru mencapai 16%, sedangkan sebesar 84% berasal dari pemerintah. Hal ini berbeda dengan di Singapura yang 80% dana risetnya berasal dari industri. Lalu, di Korea Selatan, porsi industri dalam pembiayaan riset mencapai 84%.

“Untuk mendorong industri terlibat dalam riset, kami mendorong untuk memberi insentif berupa pengurangan pajak. Masih dibahas,” katanya.

Untuk meningkatkan jumlah riset, Kemenristekdikti juga menargetkan 7.000 jurnal terakreditasi secara nasional dalam rentang 2 tahun. Hal ini dikarenakan Indonesia baru memiliki 2.270 jurnal terakreditasi nasional.

Memang, untuk mengoptimalkan dana riset agar bisa terserap maksimal diperlukan koordinasi antara kementerian, lembaga dan industri. Hal itu dilakukan agar Indonesia memiliki hasil penelitian sendiri yang diperlukan untuk pengambilan kebijakan.

Jangan sampai keputusan penting yang diambil pemerintah terkait dengan pembangunan nasional Tanah Air terus-menerus menggunakan hasil riset yang dilakukan peneliti dari negara lain.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper