Bisnis.com, JAKARTA - Kemenangan Oracle dalam sengketa hukum melawan Google berdampak besar terhadap industri peranti lunak (software), terutama Open Source. Perlu kejelian dalam memilih dan mengembangkan solusi software Open Source.
Kekalahan Google terkait tuduhan pelanggaran hak cipta penggunaan Java API (Application Programming Interace) berdampak besar tidak hanya bagi kedua perusahaan yang berseteru, tetapi juga bagi industri software terutama Open Source.
Selain menjadi preseden buruk baik bagi Oracle maupun pemilik software propietary lainnya, ada banyak implementasi software Open Source yang berpotensi menjadi subjek tuntutan hukum berikutnya.
“Dari kasus tersebut kita semua bisa berkaca, meskipun diuntungkan oleh ketersediaan software Open Source yang memberikan alternatif solusi lebih baik dan efektif, tetapi kita juga harus jeli agar tidak salah memilih,” kata CEO PT. Equnix Business Solutions Julyanto Sutandang dalam siaran pers, Sabtu (7/4/2018).
Menurut dia, tidak semua software Open Source merupakan Open Source murni atau tidak ternoda hak cipta propietary yang terkait dengan lisensi komersial. Dia mengatakan software Open Source dibuat untuk satu tujuan ideal sebagai bagian dari infrastruktur TI secara umum, seperti sistem operasi Linux, database relational PostgreSQL, Kannel SMPP Gateway, dan Apache Web Server.
Meskipun demikian, ada pula software yang didistribusikan dalam bentuk kode sumber dengan lisensi Open Source yang memiliki lisensi komersial sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai Open Source murni, salah satu contohnya MySQL, dan Jboss.
Ada pula inisiasi awal pengembangan software yang dilakukan oleh komunitas dengan tujuan menggantikan fungsi software propietary. Upaya pengembangan software tersebut dalam perjalanannya berupaya meniru fitur, mekanisme, dan yang paling sering adalah antarmuka pengguna (UI).
Hal tersebut bisa berpotensi menjadi sengketa hukum di masa mendatang, terutama setelah adanya preseden kasus Oracle vs Google ini. “Pelajaran yang harus kita petik dari kasus Oracle vs Google adalah perlunya kehati-hatian dalam mengadopsi teknologi berbasiskan Open Source. Sebab, tidak ada yang menginginkan migrasi dan perubahan yang sudah dilakukan akan menjadi bumerang di masa mendatang,” kata Julyanto.
Oracle awalnya membeli perusahaan Sun Microsystem pada 2009. Kasus bermula ketika Google ingin membuat platform sistem operasi Android agar kompatibel dengan aplikasi yang tengah dikembangkan. Alih-alih membeli lisensi platform Java dari Sun Microsystems agar program yang dikembangkannya bisa berjalan, Google memilih untuk mengembangkan versi mereka sendiri yang memiliki kemiripan dengan bahasa pemrograman Java yang dijuluki Dalvik.
Oracle kemudian mendaftarkan tuntutan hukum terhadap Google. Sidang pertama kasus itu digelar 2012 yang diakhiri dengan kemenangan Google. Upaya banding Oracle membuahkan kemenangan pada 2014. Setelah kasus itu dimentahkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat, Google dan Oracle kembali berhadapan dalam persidangan kedua pada 2016 yang dimenangkan oleh Google. Namun pada 27 Maret 2018, upaya banding kembali berakhir dengan kemenangan Oracle.
“Fakta bahwa Android tersedia secara gratis bukan berarti penggunaan paket Java API oleh Google bersifat nonkomersial,” ucap tiga panel hakim Federal Circuit dalam putusannya dan mencatat Android telah menghasilkan pendapatan lebih dari US$42 miliar dari iklan.
“Pendapat Federal Circuit menegakkan prinsip hukum hak cipta dan menegaskan bahwa Google telah melanggar hak cipta,” kata pengacara Oracle, Dorian Daley.
Google dalam pernyataan resminya mengungkapkan kekecewaan atas putusan pengadilan yang membalikkan temuan juri bahwa Java adalah terbuka dan gratis bagi semua orang.
“Keputusan seperti ini akan membuat aplikasi dan layanan online lebih mahal bagi para pengguna.”
Julyanto berpendapat pada dasarnya setiap software memiliki risiko, tak terkecuali pengadopsian software Open Source. Untuk itu, menurut dia, perlu dilakukan pendekatan dan metodologi yang baik, seperti menggunakan vendor yang mumpuni, mampu mengambil alih semua tanggung jawab legal terkait penggunaan software tersebut, mampu melaksanakan proses implementasi, migrasi, dan mengoperasikan dengan baik, serta ketersediaan portofolio lengkap yang membuktikan kemampuan vendor dalam memberikan layanan yang profesional dan tepercaya.