Bisnis.com, JAKARTA — CEO Go-Jek Nadiem Makarim menyatakan hidup matinya perusahaan teknologi berbasis layanan sangat bergantung terhadap penilaian publik.
Menurutnya, salah satu keuntungan Go-Jek dibanding kompetitornya adalah fokus bisnis tertuju pada pasar Indonesia yang menganut sistem demokrasi.
“Perusahaan teknologi yang lahir di negara demokrasi sangat bergantung terhadap penilaian publik, sehingga apa pun inovasi yang dapat menciptakan banyak lapangan kerja, tidak akan bisa dihentikan,” ujar Nadiem di dalam gelaran Indonesia Summit 2018 di Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Perusahaan teknologi yang memfokuskan pasarnya pada negara non demokrasi dinilai akan menghadapi risiko yang jauh lebih besar. Sebab, nasib keberlanjutan perusahaan itu sangat bergantung terhadap peran pemerintah yang mendominasi.
“Coba lihat berapa banyak perusahaan teknologi di Indonesia yang ‘dimatikan’ oleh aturan pemerintah, tidak ada. Lalu coba bandingkan dengan yang ada di China, banyak,” terangnya.
Go-Jek diyakini tak akan sebesar sekarang bila terlahir di negara lain. Sebab, banyak negara yang menetapkan batasan terlalu kaku pada perusahaan teknologi.
“Go-Jek mungkin tidak seperti sekarang bila tidak didirikan di Indonesia, mungkin hanya bertahan dalam enam bulan kalau dibangun di San Fransisco, AS. Terlalu banyak benturan risiko regulasi, seperti misalnya kewajiban asuransi pengendara, standar keamanan, dan terutama memang tidak terbukanya peluang bagi sektor informal untuk tumbuh,” ungkap Nadiem.
Sebaliknya, perusahaan teknologi di dalam negeri tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu semakin terlihat jelas dengan terus bertumbuhnya arus investasi pada sektor yang memperoleh deregulasi di dalam negeri.
“Itu hanya masalah persepsi kalau dibilang aturan pemerintah menghambat lahirnya inovasi. Sebenarnya pemerintah justru sangat senang merelaksasi aturan,” ucapnya.