Bisnis.com, JAKARTA—Asosiasi Televisi Swasta Indonesia atau ATVSI memastikan akan menolak rencana pemerintah untuk memungut dana penyiaran terhadap seluruh Lembaga Penyiaran Swasta sebesar 5% dari total pendapatan kotor iklan yang diperoleh selama 1 tahun.
Pungutan ini disebutkan demi mempercepat proses digitalisasi penyiaran dan memperluas broadband di Indonesia.
Syafril Nasution, Wakil Ketua ATVSI menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pungutan dana penyiaran sebesar 5% tersebut.
Baca Juga Chef Juna Percantik Sajian Pecel Pitik |
---|
Pasalnya, selama ini industri penyiaran sudah dikenakan banyak biaya untuk memproduksi siaran, salah satunya adalah Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.
Menurut Syafril, pendapatan iklan LPS dalam beberapa tahun terakhir juga mengalami penurunan sekitar 5%-10% karena ketatnya persaingan LPS dengan layanan over the top (OTT) global seperti Youtube.
“Kami sudah dikenakan BHP frekuensi hingga puluhan juta per tahunnya, selain itu pesaingan untuk mendapatkan iklan saat ini juga semakin ketat, karena pemerintah belum bisa mengatur layanan OTT seperti Youtube, mereka banyak mengambil iklan. Makanya kalau mau mengambil 5% dari iklan, kami mempertanyakan ini, harus dilihat dulu industrinya saat ini bagaimana,” tutur Syafril kepada Bisnis di Jakarta, Minggu (9/7/2017).
Dia juga mengatakan, pungutan dana yang akan dikenakan kepada seluruh LPS tersebut, tidak dapat disamakan seperti pemungutan dana Universal Sevice Obligation (USO) yang biasa dipungut pemerintah dari pelaku industri telekomunikasi sekitar 1,25% dari total pendapatan kotor pelaku telekomunikasi.
Menurut Syafril, revenue yang diperoleh industri telekomunikasi dan penyiaran berbeda, lebih besar industri telekomunikasi.
“Kalau telekomunikasi kan orang menggunakan telepon bayar, seperti pakai pulsa, kuota dan yang lain. Tapi kalau orang menonton televisi kan gratis,” katanya.
Direktur Corporate Affairs RCTI tersebut juga menyarankan agar pemerintah melakukan diskusi terlebih dulu dengan seluruh pelaku industri penyiaran sebelum menetapkan pungutan dana penyiaran sebesar 5%.
Menurutnya, pemerintah harus memiliki dasar hukum yang jelas dan cara penghitungan iklan dari setiap LPS, sehingga tidak menjadi masalah di kemudian hari.
“Jadi ini harus jelas dulu, bagaimana cara menghitung pendapatan iklannya, kemudian dasarnya apa, industri kan belum pernah diajak diskusi soal ini, harusnya kita melakukan diskusi dulu sebelum ada regulasi pungutan dana ini,” kata Syafril.
Berkaitan dengan digitalisasi penyiaran, Syafril juga memastikan industri sudah siap untuk melakukan migrasi siaran dari analog ke digital.
Namun sebelumnya, dia mengatakan pemerintah harus membuat regulasi konsep digitalisasi yang jelas dan siapa saja pemain yang diberikan izin untuk melakukan migrasi siaran.
“Sekarang ini Indonesia kan pemainnya banyak sekali, ada sekitar 300 pemain televisi kalau saya gak salah termasuk yang di daerah ya. Nah, ini juga harus diatur dulu seperti apa, jangan tiba-tiba langsung digitalisasi saja,” ujar Syafril.
Dia memprediksi ke depan teknologi akan terus mengalami perkembangan, terutama kualitas format video yang disajikan oleh industri penyiaran.
Menurutnya, saat ini industri penyiaran masih menyajikan format video high definition (HD), namun setelah digitalisasi nanti, pelaku harus mampu menyajikan format video 8K.
“Nah, teknologi yang kini digunakan oleh pelaku juga harus menjadi pertimbangan pemerintah, soalnya saat ini kami baru pakai format HD, nanti kalau digitalsiasi harus 8K,” tuturnya.
Secara terpisah, Direktur Utama BP3TI, Anang Latif mengemukakan konsep pemungutan dana penyiaran tersebut sama seperti pemungutan dana Universal Sevice Obligation (USO) yang biasa dipungut pemerintah dari pelaku industri telekomunikasi sekitar 1,25% dari total pendapatan kotor pelaku telekomunikasi.
Namun menurutnya, khusus untuk dana penyiaran, BP3TI akan mengenakan pungutan sebesar 5% terhadap pelaku industri penyiaran.
"Saya sudah hitung-hitung, nanti dikenakannya untuk pelaku penyiaran sekitar 5% lah minimal, jadi tidak sama angka persentasenya dengan pelaku telekomunikasi," tuturnya kepada Bisnis.
Anang menjelaskan setelah Revisi UU Penyiaran rampung di DPR, maka pungutan dana penyiaran tersebut akan mulai dilaksanakan oleh salah satu dari tiga lembaga pemerintah yaitu BP3TI, TVRI atau RRI.
Kendati demikian, menurutnya, siapa pun yang diamanahkan memungut dana penyiaran itu, persentasenya tetap menggunakan angka BP3TI.
"Memang di revisi UU Penyiaran itu belum disebut siapa pengelola dana penyiarannya. BP3TI, TVRI atau RRI. Tapi yang kami dengar dari wacana di DPR, amanah itu akan mengarah ke kami. Kami sih, siap saja diamanahkan, karena persentasenya sudah kami hitung," katanya.
Dia juga berpandangan negara akan mengalami kerugian jika memungut dana penyiaran dengan persentase yang sama seperti operator seluler yaitu 1,25%.
Pasalnya, menurut Anang, pendapatan kotor iklan setiap LPS diprediksi mencapai angka Rp20 triliun-Rp30 triliun per tahun, sehingga harus dipungut minimal 5% dari pendapatan kotor iklan.
"Mungkin perkiraan saya, bisa di angka Rp20 triliun-Rp30 triliun setahun iklan yang masuk ke media penyiaran di luar media sosial. Jadi angka 1% saja sekitar 100-300 miliar. Seper sepuluh telko. Kalau mau nendang, ya harus 5%," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika meminta pengusaha televisi agar tunduk jika pemerintah sudah resmi membuat regulasi pungutan dana penyiaran, alasan dibuatnya regulasi tersebut yaitu karena setoran para pelaku LPS ke negara masih minim.
Kemenkominfo juga menyatakan dewasa ini pelaku LPS hanya dikenakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi milik negara sebesar Rp40-Rp50 miliar per tahun dari setiap LPS.
Sedangkan menurutnya, BHP Frekuensi industri telekomunikasi per tahun lebih besar jika dibandingkan dengan industri penyiaran yaitu mencapai angka lebih dari Rp10 triliun per tahun dari setiap pelaku industri.
Selain untuk mempercepat proses digitalisasi penyiaran, pungutan dana penyiaran tersebut nantinya juga akan digunakan oleh pemerintah untuk memperluas jangkauan penyiaran hingga ke seluruh wilayah perbatasan dan pelosok Indonesia, sehingga seluruh masyarakat mendapatkan akses penyiaran.
Frekuensi 700 MHz
Anang juga menjelaskan salah satu unsur terpenting dari proses digitalisasi penyiaran selain memungut dana penyiaran dari LPS adalah proses penyerahan frekuensi 700 MHz yang saat ini masih dikuasai oleh seluruh LPS untuk penyiaran analog.
Menurutnya, frekuensi 700 MHz yang dikenal sebagai frekuensi emas tersebut memiliki banyak kelebihan seperti di antaranya memiliki jangkauan yang lebih luas dan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi 4G LTE bagi industri telekomunikasi.
"Memang banyak peminatnya frekuensi 700 MHz ini, makanya disebut sebagai frekuensi emas. Kan jangkauannya bisa lebih luas dan investasinya juga murah. Ibaratnya, untuk memperluas jangkauan frekuensi kita misalnya butuh 2-3 BTS, tapi kalau frekuensi ini cukup 1 BTS saja," katanya.
Seperti diketahui, untuk melakukan digitalisasi penyiaran, seluruh LPS wajib mengembalikan frekuensi 700 MHz yang akan didedikasikan untuk pengembangan pita lebar karena memiliki cakupan band yang lebih luas, sehingga pengembangan layanan 4G LTE dapat berjalan dengan lancar.
Sebagai gambaran, frekuensi yang dipakai pemain televisi analog saat ini terbentang dari rentang 478 MHz-806 MHz atau memiliki pita lebar sekitar 300 MHz.
Khusus untuk penggunaan frekuensi 700 MHz tersebut, kebanyakan yang menggunakannya baru di wilayah Eropa untuk pengembangan 4G LTE, namun di wilayah Asia masih belum populer.
Sementara itu, CEO Telkomsel Ririek Adriansyah mengaku pihaknya masih menginginkan frekuensi tersebut untuk pengembangan layanan 4G LTE Telkomsel. Namun sayangnya, dia mengatakan frekuensi 700 MHz masih digunakan oleh pelaku industri penyiaran.
"Kami masih mau frekuensi itu, karena frekuensi itu sangat bagus untuk pengembangan 4G di sini (Indonesia). Ideal lah intinya, makanya kami masih tunggu dari pemerintah," tuturnya.
Hal senada disampaikan CEO XL Axiata Dian Siswarini yang mengaku menginginkan frekuensi tersebut untuk pengembangan layanan 4G LTE.
Dia menjelaskan pihaknya selama ini sudah seringkali melakukan diskusi dengan pemerintah dan pelaku industri penyiaran untuk mengkaji penyerahan frekuensi tersebut.
"Kami mau banget frekuensi itu, karena itu kan frekuensi emas ya. Kami sudah seringkali diskusi dengan pemain penyiaran dan pemerintah untuk mendapatkan frekuensi itu," katanya.
Dia berharap ke depan pemerintah dapat segera mempercepat proses pengembalian frekuensi 700 MHz yang kini masih digunakan pelaku penyiaran untuk melakukan aktivitas siaran analog.
"Ya harapan kami sih semoga pemerintah mau segera mempercepat proses pengembalian ini, agar kami dapat melakukan pengembangan 4G di Indonesia," ujarnya.