Bisnis.com, JAKARTA — Balai Penyedia dan Pengelolaan Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika mengusulkan pengenaan pungutan dana penyiaran sebesar 5%.
Pungutan yang dikenakan atas total pendapatan kotor iklan setahun seluruh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) tersebut akan digunakan untuk mempercepat proses digitalisasi penyiaran di Indonesia.
Direktur Utama Balai Penyedia dan Pengelolaan Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) Anang Latif mengatakan, konsep pemungutan dana penyiaran terhadap LPS sama seperti pungutan dana universal service obligation (USO) sebesar 1,25% dari pendapatan kotor yang dipungut pemerintah dari pelaku industri telekomunikasi.
Namun, pungutan yang ditetapkan untuk LPS harus lebih besar karena LPS membayarkan Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi lebih kecil dibandingkan industri telekomunikasi.
Anang menilai negara akan mengalami kerugian jika memungut dana penyiaran dengan persentase yang sama seperti operator seluler karena pendapatan kotor iklan setiap LPS diprediksi mencapai angka Rp20 triliun—Rp30 triliun per tahun.
“Mungkin perkiraan saya, bisa di angka Rp20 triliun--Rp30 triliun setahun iklan yang masuk ke media penyiaran di luar media sosial. Jadi angka 1% saja sekitar Rp100—Rp300 miliar. Sepersepuluh telko. Kalau mau nendang, ya harus 5%,” tutur Anang kepada Bisnis, Minggu (18/6).
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sebelumnya memastikan aturan pungutan dana penyiaran adalah salah satu hal yang dibahas melalui revisi Undang-Undang Penyiaran.
Pungutan tersebut dikenakan karena setoran LPS terhadap negara masih minim. Setiap LPS menyetor Rp40 miliar—Rp50 miliar per tahun kepada negara dalam bentuk BHP Frekuensi, sedangkan setiap operator telekomunikasi membayar lebih dari Rp10 triliun per tahun.
“Nanti konsepnya seperti pungutan dana USO pada industri telekomunikasi. Mereka [pelaku LPS] punya kewajiban untuk membangun penyiaran hingga ke pelosok,” tuturnya, beberapa waktu lalu.
Penolakan atas dana penyiaran sempat disampaikan oleh Ketua Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI), Santoso. Dia menyatakan pungutan yang diambil pemerintah dari industri penyiaran sudah terlalu banyak.
“Kami kan sudah dipungut dana oleh pemerintah. Tidak sedikit lho itu, kok tiba-tiba mau pungut lagi dana penyiaran. Selama ini kami sudah bayar dana IPP [izin penyelenggaraan penyiaran], IVR [Interactive Voice Response], masih banyak dana yang lain lagi,” kata Santoso.