Bisnis.com, JAKARTA - Badan Legislasi DPR RI mengharapkan revisi Undang-undang Penyiaran memberikan keadilan bagi semua pihak.
Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan saat ini revisi Undang-undang Penyiaran segera memasuki tahap konsinyering untuk kemudian ditetapkan sebagai inisiatif DPR.
"Kami targetkan dalam massa sidang ini sudah ditetapkan," kata Supratman di Jakarta pada Senin (29/5).
Dia mengatakan terdapat tiga isu utama yang harus dipastikan jika Undang-undang penyiaran ini disahkan. Isu itu meliputi dampak digitalisasi terhadap industri penyiaran eksisting, selanjutnya konsekuensi sistem penguasaan frekuensi oleh negara dan dijalankan oleh Lembaga Penyiaran Publik (LPP).
Sedangkan yang terakhir, memastikan kerberlangsungan bisnis industri penyiaran terutama terkait pendapatan periklanan. "Semangatnya jangan sampai membunuh yang eksisting," kata Supratman.
Ketua Umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia Rohmad Hadiwijoyo mengatakan dalam revisi undang-undang penyiaran ini memberikan perlindungan bagi industri. Dia mengatakan saat ini terdapat 80 juta pendengar di seluruh Indonesia. Akan tetapi, iklim bisnis radio terus bergerak mundur.
"Kita kalah jauh di Asean, sekarang [pangsa iklan hanya] 0,7% dan terus menurun, padahal dulu 7%. Selain itu terdapat lebih 1.800 radio berizin di luar 40.000 frekuensi yang dapat dimanfaatkan sebagai radio gelap," katanya.
Dengan persaingan sangat ketat ini, maka kualitas radio sebagai pengguna frekuensi publik sangat sulit dipertahankan kualitasnya. Dibutuhkan regulasi yang tegas tentang jumlah maksimal radio dalam satu wilayah termasuk pola distribusi iklan.
Selain itu dia mengharapkan digitalisasi dalam revisi UU Penyiaran bukan isu utama yang dihadapi oleh pengelola radio. Hadirnya Internet berkecepatan tinggi membuat siaran melalui Internet semakin marak. "Model bisnis, perizinan, maintanance juga sebaiknya diatur."
Rohmad juga mengharapkan pengelolaan frekuensi dialihkan kepada satu badan layanan umum. Saat ini pengelola radio harus mengurus dua izin setiap tahun yakni Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dan Izin Stasiun Radio (ISR), sedangkan penyelenggara via Internet tidak dikenai aturan ini.
Asdar Assalam, Vice President Asosiasi TV Kabel, mengatakan pihaknya menyambut hadirnya revisi UU Penyiaran ini. Melalui beleid ini, frekuensi yang ada dapat lebih dioptimalkan. Bahkan satu frekuensi dapat dimaksimalkan jadi 16 saluran. Dengan demikian, masyarakat semakin memiliki pilihan informasi yang beragam.
Meski begitu, tambahnya, revisi beleid ini hendaknya menegaskan berlakunya informasi frekuensi publik dapat bebas digunakan.
Dia mengatakan saat ini frekuensi publik yang dimanfaatkan sejumlah TV masih memungut bayaran dari penyelenggara TV kabel. Padahal dalam aturan materi publik dapat bebas digunakan.