Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta berhati-hati dalam melakukan perubahan terhadap PP No. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP No. 53/2000.
Beleid tersebut tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit karena bisa memunculkan praktik transfer pricing mengingat pemain seluler di Indonesia didominasi asing.
Transfer pricing adalah bentuk praktik pengalihan biaya dari sebuah nilai barang atau jasa antara beberapa perusahaan dalam satu nama besar sehingga menggeser laba yang harusnya masuk kas dalam negeri ke perusahaan induk asing.
“Dengan struktur kepemilikan operator yang dimiliki asing, rawan terjadi praktik transfer pricing atau pergeseran laba ke luar negeri dan Indonesia tidak menikmati keuntungan,” ungkap Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, dalam keterangan pers yang diterima, Kamis (13/10/2016).
Menurutnya, kebijakan yang dibuat Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membuat ada pemain yang diuntungkan dan dirugikan jika dijalankan.
“Pertama, itu biaya interkoneksi kan simetris artinya harga satu. Jelas Harga pokok produksi (HPP) operator itu beda, bagi yang HPP rendah tentu dapat marjin. Nah yang HPP tinggi siapa yang nanggung sunk cost? Kan harusnya dari biaya interkoneksi,” ulasnya.
Kedua, jika revisi kedua PP yang merupakan turunan dari UU telekomunikasi itu dijalankan, bisa memicu praktik monetisasi frekuensi di secondary market.
“Nah, ini kalau dilihat yang untung banyak sebagian operator, tetapi paling rugi operator yang sudah banyak bangun dan negara karena potensi pajak hilang,” jelasnya.
Dia mengingatkan jika pun nanti terjadi profit yang bertambah dari penerapan network sharing tidak selalu meningkatkan penerimaan negara lewat pajak.
Jika revisi itu resmi diberlakukan, katanya, hanya beberapa operator seluler yang menanggung keuntungan dari adanya network sharing. Sebagian besar keuntungan tersebut nantinya justru bakal mengalir ke kantong perusahaan induk mereka di luar Indonesia, sehingga kontradiktif terhadap upaya tax amnesty.
Menurutnya, dalam pencatatan keuangan di Indonesia, salah satunya yang banyak diakali adalah pajak penghasilan badan (PPh badan. Penarikan item ini di Indonesia jika sebuah perusahaan untung.
Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengingatkan revisi kedua PP tersebut jika dijalankan menyimpan potensi moral hazard dan bisa melempangkan praktik korupsi kolusi nepotisme (KKN) di industri telekomunikasi.