HARRY SANUSI: Inovasi itu Urat Nadi

Tim Bisnis Indonesia
Rabu, 16 Desember 2015 | 12:38 WIB
Presiden Direktur PT Kinocare Era Kosmetindo (Kino), Harry Sanusi. /Bisnis.com
Presiden Direktur PT Kinocare Era Kosmetindo (Kino), Harry Sanusi. /Bisnis.com
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Bermula dari bisnis distribusi kecil dengan 10 orang karyawan, Harry Sanusi sukses mengembangkan bisnisnya menjadi salah satu perusahaan fast moving consumer good besar di Tanah Air yaitu Kino Indonesia.

Entitas yang kemudian memproduksi permen ini akhirnya ekspansi dengan berbagai produk konsumer dan melantai di Bursa Efek Indonesia. Bagaimana resep sang pendiri sekaligus CEO ini meramu strategi ekspansi, dan apa rencananya ke depan? Bisnis mewawancarainya belum lama ini. Berikut petikannya:

Kino kini menjadi salah satu fast moving consumer good [FMCG] company besar di Indonesia. Bisa diceritakan bagaimana awal Anda merintisnya?

Kino lahir dari satu perusahaan distribusi di Jabodetabek. Kami mendistribusi produk-produk konsumer. Karyawan awalnya hanya 10 orang. Saya rangkap presdir,  salesman, kolektor, semuanya. Dalam perkembangannya Juni 1997, Indonesia krisis. Di situlah kami mulai masuk industri FMCG.

Pada 1997 itu ada perbedaan pendapat dengan prinsipal karena mereka tidak mengizinkan kami menjual produk lain, sementara bisnis ada naik turunnya. Begitu turn over kami langsung rugi. Jadi kami mencoba jual barang lain, kemudian putus hubungan lalu pada 1998 kami luncurkan produk pertama kami, permen Kino. Ini yang menjadi cikal bakal perusahaan ini.

Kapan tepatnya pengembangan dilakukan?

Tahun-tahun berikutnya. Kami diversifikasi produk ke personal care, lalu kami ada juga brand: Ovale, Absolute, Master, kemudian ada Cap Kaki Tiga pada 2013. Kami kemudian ekspansi ke Malaysia (Kino Care Malaysia), Filipina (Kino Consumer Filipina), dan Vietnam (Kino Vietnam).

Pada 2014 kami merestruktrurisasi, membuat perusahaan ini lebih simple. Sebelumnya Kino Indonesia bernama Kinocare Era Kosmetindo. Sejak 2014 berubah nama. Kami membuat struktur yang lebih gampang sehingga nantinya lebih mudah ekspansi.

Bisa diceritakan, bagaimana Kino bisa berekspansi hingga ke Malaysia, Filipina, dan Vietnam?

Memang perusahaan ini lahir dari krisis 1997—1998. Kami mulai dengan produk Kino. Ini tidak membuat kami hanya ingin menjadi pemain di negeri sendiri, mungkin banyak perusahaan lain tidak ingin ke luar negeri karena merasa market di dalam negeri masih sangat besar. Pertama, kami coba di Malaysia, kemudian pada tahun yang sama kami coba di Filipina sekitar 2003—2004.

Semua diproduksi di Indonesia, lalu ekspor ke sana dan kami mendirikan perusahaan seperti di Indonesia, minus produksi saja. Perusahaan kami di sana aktivitasnya marketing, promosi, manajemen distribusi dan lainnya. Kami lihat ada beberapa perusahaan dari Indonesia yang kemudian keluar negeri, tapi tidak bertahan lama. Menjaga keberadaan kami di sana menjadi tantangan [tersendiri] bagi kami.

Apa yang jadi pertimbangan ekspansi ke negara-negara Asean ini?

Kami lihat di Asia Tenggara ini ada populasi sekitar 600 juta jiwa sementara Indonesia hanya 250 juta jadi kalau kami bisa menambah market maka kami akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan kompetitor kami yang hanya fokus di Indonesia. Itu yang membuat kami ekspansi ke negara tetangga, tapi kalau dari sisi pertumbuhan di luar, mungkin tidak sebagus Indonesia yang lebih cepat. Tetapi itu long distance management buat kami. Syukurlah Kino masih hadir di sana dan masih bagus.

Seberapa besar tantangan dan peluang untuk bisnis di luar negeri?

Ekspor ke luar negeri ada untungnya. Kami melakukan konsolidasi sehingga lebih efisien. Artinya kami ekspor dengan kuantitas yang lebih besar. Kedua, kami juga lakukan natural hedging sehingga kami dapat penghasilan dolar karena pembelian bahan baku. Sebagian juga dalam dolar. Ketiga, kami memperluas pangsa pasar.

Tantangannya, kami harus merekrut orang lokal yang mengerti kebiasaan di sana. Saya cenderung tidak merekrut orang Indonesia tetapi mempekerjakan semua orang lokal di sana karena mereka lebih memahami market dan problem di sana. Kami hanya mengontrol keuangan dan manajemen sehingga semua tetap terkendali.

Satu nilai tambah adalah, dengan kehadiran kami di negara tetangga kami mendapatkan ide terkait dengan barang atau produk yang laku di sana yang kebetulan belum dikembangkan di Indonesia oleh pemain lokal. Jadi kami bisa lakukan interchange idea.

Berapa jenis produk yang dikelola Kino saat ini?

Saat ini kami memiliki empat sektor produk yakni personal care, minuman, makanan, dan farmasi. Kontribusi terbesar berasal dari personal care yakni 50% dari total revenue, 36% dari segmen minuman, 12% dari food, sisanya dari farmasi yang masih kecil yaitu sekitar 1% karena baru launching tahun lalu.

Untuk bisnis di luar negeri, kami andalkan produk personal care. Kami tidak masuk ke minuman dan makanan karena marginnya relatif lebih rendah. Sementara kami ekspor, biaya pengirimannya cukup mahal. Untuk personal care marginnya cukup bagus sehingga kami bisa me-manage biaya-biaya.

Sebenarnya dari mana nama Kino berasal?

Pada 1995 saya pernah ke Pakistan untuk ikut pameran. Saya jadi satu-satunya peserta yang bukan produsen. Saat makan siang bersama Gubernur Karachi, dia mencari perusahaan distribusi dan kemudian saya diperkenalkan dengan salah satu eksportir yang mencari perusahaan distribusi.

Ternyata saya diperkenalkan dengan salah satu pengusaha jeruk. Saya katakan tidak cocok karena saat itu saya menjual obat-obatan. Dia bilang tidak masalah dan memberi saya jeruk. Jeruk itu dalam bahasa mereka disebut Kino. Seperti orange dalam bahasa Inggris dan jeruk dalam Indonesia. Jadinya, saya makan jeruknya, namanya saya bawa pulang, ha-ha-ha.

Saat itu tidak ada rencana membuat permen. Ketika membuat permen saya ingat nama itu. Kebetulan kalau dipikir lagi Kino itu singkatan dari kreatif dan inovatif. Jadi cocok juga untuk kami, ha-ha-ha.

Dengan pengalaman pada distribusi minuman, mengapa Anda akhirnya memilih memproduksi permen dan di saat krisis pula?

Mungkin kalau menuruti emosi, kami mungkin bisa saja masuk ke minuman, tapi logika mengatakan kalau kita mengandalkan emosi saja maka kita bisa jadi akan salah. Kami kembali ke realita. Saat itu kami adalah perusahaan distribusi dan kompetensi kami hanya menjual produk. Jaringan kami hanya punya toko-toko. Kami tidak punya pengalaman.

Lalu bagaimana agar perusahaan tetap hidup?

Kami memikirkan barang yang paling cepat dijual. Barang itu adalah permen. Alasannya sederhana. Permen loyalitasnya paling rendah, karena manis, selain itu [kalau ada] kembalian [pembayaran] kan juga sering pakai permen. Itu asal usul kami membuat permen, supaya kami bisa segera survive. Kalau kami buat satu produk yang gagal saat itu, kami langsung habis.

Mengapa justru pada saat krisis?

Itu juga satu momentum di mana kami kehilangan loading. Jadi walaupun krisis kami harus tetap hidup. Kalau tidak, produksi kami pasti mati. Barang yang kami produksi harus sukses dan salah satu pilihannya adalah permen.

Ketika kami ketemu dengan penjual mesin permen, dia mengatakan untuk buat permen itu mesinnya beda-beda. Hard candy beda, soft candy beda, lolipop juga beda. Lalu kami tanya kalau membuat permen yang paling susah itu apa? katanya soft candy, dan kebetulan di Indonesia waktu itu soft candy belum banyak. Lalu permen rasa apa? Itu masalah lagi.  Ada macam-macam rasa, saat itu Sugus rasa buah, yang belum ada rasa kopi. Ada Kopiko tapi itu hard candy. Jadi akhirnya kami membuat soft candy.

Setelah kami buat, kami komunikasikan dengan memasang iklan di televisi. Saat itu sangat murah satu slot iklan hanya Rp250.000. Jadi pada zaman krisis, Pak Harto [Presiden Soeharto] lagi pidato setelah itu muncul iklan Kino. Di situlah peluang kami, ha-ha-ha.

Krisis pun bisa jadi peluang membangun bisnis ya?

Seharusnya seperti itu. Ini karena pemain existing sedang pusing. Mereka tidak memikirkan bagaimana market karena sibuk berbenah di dalam. Padahal market-nya selalu ada. Hanya mindset atau kebiasaan yang berubah, kebutuhannya berubah, lifestyle berubah, tetapi kebutuhan tetap ada. Itulah maka kami masuk. Jadi perlu inovasi juga, lah.

Bagi saya inovasi menjadi urat nadi bagi kami, supaya sustainable maka harus ada inovasi. Kami juga membentuk product innovation team. Jumlahnya 99 orang. Kerjanya menggali ide-ide dari konsumen, teman-teman, tetangga. Dapatkan ide lalu digodok secara internal. Sesuai dengan market enggak? Kalau iya, cocok baru dihitung lebih detail.

Apa saja produk yang dinilai berhasil?

Salah satu contoh Ellips Hair Vitamin. Sukses sekali. Saat itu sembilan atau 10 tahun lalu, banyak wanita Indonesia mewarnai rambut. Yang terjadi setelah mewarnai itu, rambutnya rusak. Hipotesisnya adalah mereka butuh solusi. Sesuatu yang membuat rambut mereka normal. Kami lihat ada konsep serum dan lainnya tapi kita melihat vitamin lebih gampang dimengerti konsumen. Packaging-nya seperti apa? Apakah sachet, atau botol? karena vitamin, di rambut, maka dibikinlah butiran kecil mirip [kapsul] vitamin itu. Penerimaannya bagus sekali. Rata-rata proses dari riset sampai keluar produk bisa 18 bulan. Ada yang enam bulan ada yang lebih dari 18 bulan. Rata-rata 18 bulan.

Banyak orang mengatakan kami tidak fokus, tetapi bagi saya kami sangat fokus. Kami fokus mencari kebutuhan pasar, fokus menggali selera konsumen, lalu tarik ke belakang. Fokus kami di situ, sehingga produk-produk yang kami launching ke pasar itu kemungkinan suksesnya tinggi.

Bagaimana dengan pengelolaan dana saat krisis?

Ini karena produk kami kesuksesannya tinggi maka pay back-nya juga cepat, karena langsung laku. Dalam enam bulan saja sudah pay back. Itu yang bikin kami survive sampai hari ini. Kami tidak datang seperti perusahaan besar yang lima tahun tahan dulu. Kami satu tahun saja sudah enggak kuat saat itu.

Untuk setiap produk modalnya beda-beda. Ada yang mesinnya mahal, ada yang sangat murah enggak perlu apa-apa hanya tangki saja. Misalnya pembersih kewanitaan itu konsepnya unik, enggak perlu mesin yang canggih-canggih hanya butuh tangki saja. Untuk konsep itu kami yang pertama di Indonesia, dan sekarang kami menguasai market share 70% dari produk itu.

Bagaimana Anda memandang kompetitor?

Kompetitor kadang dilihat sebagai musuh, tetapi kami melihatnya sebagai teman untuk bersama-sama membesarkan market. Bagi kami, kalau tidak ada kompetitor, kami tidak akan tumbuh besar. Mungkin keluar budget juga kecil karena secara teori kami bermain sendiri. Aktivitas di konsumen juga slow kalau tidak ada kompetitor.

Jadi kompetitor itu penting. Mereka bergerak, kami bergerak juga sehingga market pada akhirnya akan semakin besar. Ini karena lebih banyak lagi yang mengedukasi pasar. Yang paling penting adalah menjaga agar market share tetap tinggi.

Apa sejatinya cita-cita Anda?

Ayah saya memiliki toko obat di Pontianak. Saya dari kecil sudah mencium bau obat-obatan. Jadi cita-cita saya sederhana saja. Mau menjadi apoteker karena kalau saya lulus kuliah saya bisa meminta orang tua membeli ruko untuk buka apotek.

Saya kemudian kuliah farmasi di Universitas Pancasila. Ketika menunggu program apoteker di Universitas Indonesia, saya mengajar anak-anak SMP. Orang tua saya kemudian mengatakan kepada saya, orang dari Cap Kaki Tiga sedang mencari distributor di Jabodetabek. Mereka menawarkan apakah saya berminat. Saya tidak pikir panjang langsung ambil. Mulai mendirikan perusahaan distribusi. Ini mungkin menjadi salah satu keputusan paling penting dalam hidup saya karena selanjutnya saya bergelut di bisnis ini.

Apa kegiatan Anda di waktu luang?

Berolahraga Sabtu dan Minggu. Golf. Anak-anak saya juga saya minta belajar main golf karena kalau mereka berbisnis nanti akan ketemu orang bank dan lainnya lebih mudah, ha-ha-ha. Saya termasuk yang telat belajar golf.

Anak-anak kelihatan tertarik untuk masuk ke bisnis. Namun, apakah mereka akan memimpin perusahaan ini tentu tergantung pada kapasitas mereka. Tertarik saja bagi saya sudah bagus. Saya berpendapat akan berbahaya kalau anak saya tidak punya kapasitas tetapi memimpin perusahaan.

Apa yang menjadi filosofi hidup Anda?

Pertama, jangan bikin susah orang. Kedua, harus komitmen terhadap apa yang kita katakan. Menurut saya dua hal itu yang membantu hidup saya sampai saat ini. Jangan berbuat susah berarti kita bisa menjadi berkah untuk orang lain. Kemudian kalau kita memiliki komitmen dengan apa yang kita katakan maka orang akan percaya dengan kita. Tidak akan ragu-ragu, klien tidak akan ragu dengan kita, karyawan juga tidak akan ragu dengan saya.

Siapa tokoh panutan inspiratif bagi Anda?

Pak Mochtar Riady. Saya ingat persis waktu saya SMP, saat itu kami hanya bisa mengambil uang di tabungan sebulan sekali. Waktu Pak Mochtar di BCA, ada program tahapan BCA jadi bisa mengambil uang kapan saja dan dapat hadiah lagi.

Dari situ saya mengetahui nama beliau, lalu saya mengikuti terus perkembangan. Bagi saya beliau adalah orang yang luar biasa, seorang profesional yang kemudian menjadi pengusaha dan sukses di semua lini bisnis. Saya melihat beliau sebagai orang yang sangat jeli melihat melihat peluang pasar.

Saat orang lain belum memikirkan sesuatu, beliau sudah lebih dahulu. Misalnya 10 tahun lalu, properti belum booming, dan sekarang tahu-tahunya booming. Beliau bisa membaca tren pasar, kemudian bisnis di bidang rumah sakit juga demikian. Membuka satu rumah sakit, lalu pelajari bisnisnya dan kemudian membuka cabang di mana-mana. Hypermart juga demikian, 12 tahun lalu baru dibangun dan sekarang menjadi yang paling besar di Indonesia. Orang lain mungkin punya kesempatan membangun bisnis dan sukses itu satu atau dua kali, tetapi dia sangat banyak.

Biodata

Nama: Harry Sanusi
Tanggal Lahir: 6 September 1967

Pendidikan
Sarjana Farmasi, Universitas Pancasila, Jakarta, 1991

Perjalanan Karier
CEO & Pendiri PT Kino Indonesia [d/h Kinocare Era Kosmetindo], 1999—sekarang.
CEO & Pendiri PT DutaLestari Sentratama, 1991—sekarang.
Direktur Kino International, 2013—sekarang.
Direktur Kino Consumer Philippines, Inc., 2004—sekarang.
Direktur Kinocare (M) Sdn Bhd, 2004—sekarang.
Direktur Kino Vietnam Co. Ltd., 2013—sekarang.
Komisaris PT Prime Restaurant Indonesia, 2013—sekarang.
Wakil Presiden Komisaris PT MKI, 2013—sekarang.  
Pendiri PT KSI, 1997.
Pendiri PT Prime Restaurant Indonesia, 2005.
Pendiri PT Morinaga Kino Indonesia, 2013.

 

Pewawancara: Thomas Mola, Annisa Margrit, Dewi Andriani

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (16/12/2015)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper