Bisnis.com, JAKARTA--Harus diakui, regulasi penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia memang telah lama mengalami kesemerawutan seperti terdapatnya kartel (pemusatan) kepemilikan, lemahnya infrastruktur, atau regulasi yang tidak merespon perubahan dunia komunikasi yang begitu pesat. Baik regulasi maupun para regulator yang ada di negara ini telah gagal menjalankan proses demokratisasi komunikasi dan informasi.
Hal ini disampaikan oleh Koalisi Independen Demokratisasi Penyiaran (KDIP) yang terdiri dari 9 lembaga yang termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Selasa (7/10/2014). Mereka menyuarakan, model kelembagaan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) terbukti tidak mengena akibat sekaligus melakukan fungsi pemberdayaan, regulasi, sekaligus eksekutif yang cenderung mengarah pada penyimpangan kekuasaan.
Akibatnya, penyatuan semua urusan informasi publik, telekomunikasi, dan penyiaran di bawah Kemkominfo justru membuat target-target yang ada tidak bisa dicapai secara maksimal. Bahkan, Kemkominfo malah melupakan tugas utamanya untuk menjaga kedaulatan frekuensi publik dan membangun infrastruktur telekomunikasi.
Apalagi keterlibatan Kemkominfo baik secara struktural maupun pendanaan dalam Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), mengakibatkan keduanya melupakan idealisme awal. Padahal, semua negara demokrasi harus memiliki lembaga penyiaran dan komunikasi publik yang independen, terutama jika mengacu pada contoh ACMA (Australia), FCC (AS), dan OffCom (Inggris).
Parahnya lagi, Peraturan Menteri (permen) 22/2011 yang menyatakan bahwa ijin penyelenggara multipleksing didistribusikan berdasarkan provinsi yang notabene telah digantikan permen 32/2013 justru kembali dipakai akibat gugatan yang tak kunjung usai.
Contoh terbaru, Keputusan Menteri Kominfo 729-730/2014 tentang Peluang Usaha Penyiaran Multipleksing memungkinkan penjualan frekuensi penyiaran kepada operator telekomunikasi. Kebijakan ini tentu membuka peluang frekuensi penyiaran habis dijual ke tangan asing.
Selain itu, Undang-undang undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) yang semestinya mengembangkan industri komunikasi dan informasi serta potensi ekonomi kreatif yang besar, justru terkenal akibat digunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berbicara warga di internet. Sehingga, situasi kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi terganggu dan tidak jelas juntrungannya.
Dengan demikian, KDIP mengemukakan delapan usulan kebijakan demi struktur kabinet baru yang akan terbentuk tidak lama lagi, yakni: perampingan Kemkominfo terpisah dengan BRTI maupun KPI; revisi UU ITE; merapikan persoalan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta; evaluasi perijinan terhadap 10 lembaga penyiaran swasta; menerbitkan undang-undang tentang digitalisasi penyiaran; meminta pemerintah menyelesaikan uji materi RUU penyiaran baru yang menjamin kebebasan dan keberagaman; memperkuat dan memberdayakan lembaga penyiaran publik seperti RRI dan TVRI; serta jeli memposisikan kandidat dalam posisi menteri Kemkominfo.