Bisnis.com, JAKARTA--Tarikan grafik yang terpampang di layar infokus dalam sebuah kelas di ruang seminar Nanyang Technological University, Singapura, itu terlihat jelas.
Menggambarkan tren yang sedang dialami oleh media massa cetak di Amerika Serikat. Dari kiri atas melandai hingga ke bagian kanan. Landai tetapi pasti, menandakan penurunan.
Pada kelas yang dihadiri puluhan jurnalis dari berbagai negara Asia yang mengikuti program Asia Journalism Fellowship, belum lama ini, Cyril menggambarkan bagaimana penurunan yang dialami oleh industri surat kabar di Amerika, di negara yang terkenal matang dalam hal jurnalismenya.
Melalui grafik yang disari dari Newspaper Association of America (NAA) itu, Cyril menunjukkan bagaimana jungkir balik yang dialami oleh industri surat kabar di Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir. Tepatnya sejak booming teknologi digital di AS.
Grafik menunjukkan, selama puluhan tahun sejak 1950 hingga periode 2000, pendapatan iklan yang dibukukan industri surat kabar di Amerika Serikat terus menanjak.
Dalam kurun waktu selama 50 tahun itu, perolehan dari iklan surat kabar berlipat hingga mencapai tiga kali dari sekitar US$20 miliar pada 1950 hingga menembus US$60 miliar pada 2000.
Namun, setelah periode 2000 atau setelah internet semakin marak digunakan masyarakat di Negeri Paman Sam, pendapatan yang diperoleh kantor-kantor surat kabar di AS itu terus menurun dan belum pernah kembali lagi ke grafik sebelumnya.
“Dan sekarang, hanya dalam kurun satu dekade, ini [pendapatan iklan] kembali lagi ke masa 1950, yaitu sekitar US$20.000 juta,” ujar Cyril sambil menunjuk grafik angka pendapatan iklan industri surat kabar AS.
Jika mengacu data yang dikeluarkan oleh NAA, total pendapatan industri surat kabar di AS pada 2013 mencapai US$37,59 miliar, menyusut 2,6% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebanyak US$23,75 miliar atau sekitar 63% penyumbang pendapatan adalah iklan dalam bentuk berbagai platform.
Sebetulnya, media tradisional seperti surat kabar tercetak masih menikmati porsi besar kue iklan dibandingkan jenis media lainnya.
Lebih lanjut Cyril memaparkan sebanyak US$17,3 miliar atau sekitar 72,8% dari total pendapatan iklan dinikmati oleh media cetak tradisional.
Hanya saja, jika dibandingkan tahun sebelumnya, angka pendapatan iklan media cetak tradisional itu minus 8,6%.
Jika dibandingkan, angka persentase penurunan pendapatan iklan tersebut lebih besar dibandingkan persentase penurunan total pendapatan industri surat kabar.
Lebih lanjut, Cyril memaparkan perkiraan waktu kepunahan surat kabar di dunia.
Mantan pewarta The Straits Times milik jaringan Singapore Press Holding itu memaparkan tenggat waktu surat kabar yang sudah semakin dekat apabila tidak segera dilakukan “langkah penyelamatan”. Agak ekstrim memang.
Dengan mengutip data dari www.futureexploration.net, Cyril menyebutkan bahwa tenggat waktu bagi industri surat kabar di sejumlah negara sudah dalam kondisi “merah”.
Banyak di antaranya sudah di depan mata. Jika tidak segera diambil langkah-langkah strategis untuk bertahan hidup, maka bukan mustahil kematian yang membayang seperti sudah mulai yang dialami beberapa surat kabar di AS.
Namun demikian, ujar Cyril, keadaannya berbeda-beda tergantung kondisi di setiap Negara. Masa-masa “darurat” bagi industri surat kabar cetak itu umumnya terjadi di Negara-negara tergolong maju dan berpenduduk cukup matang dalam hal pendidikan.
“Melalui grafik ini dapat kita lihat, perkiraan waktu kepunahan surat kabar di AS pada 2017. Di UK, Iceland, pada 2019,” ujarnya.
Di Kanada dan Norwegia, tenggat waktu untuk industri surat kabar cetak diperkirakan terjadi pada 2020. Singapura dan Finlandia pada 2021, Australia dan Hong Kong pada 2022, dan Denmark pada 2023.
Namun demikian, meski industri surat kabar cetak di banyak Negara mulai mendekati lampu merah, para insan surat kabar di Indonesia masih bisa bernapas lega.
Soalnya paling tidak – jika mengacu data tersebut, industri surat kabar di Indonesia dengan format tradisional (mengandalkan cetak) paling tidak masih dapat bertahan hingga lebih dari tahun 2040.
Penyebabnya, meskipun penggunaan media digital sudah mulai berkembang di antara masyarakat, akan tetapi masih banyak masyarakat Indonesia yang mengandalkan surat kabar tercetak sebagai sumber informasi.
Hal itu tidak terlepas dari gaya hidup masyarakat Indonesia yang masih tergolong masyarakat negara berkembang.
Direktur Asosiasi Surat Kabar dan Percetakan Dunia atau World Association of Newspaper and News Publisher(WAN-IFRA) untuk Asia Gilles Demptos menyebutkan sirkulasi media cetak di Indonesia masih tumbuh pesat.
Kondisi itu berbalik dengan situasi di negara tetangga Singapura yang cenderung menurun.
Di Indonesia, pendapatan iklan juga meroket, lebih dari dua kali lipat dalam 5 tahun terakhir. Sementara di banyak Negara lainnya justru turun.
"Sirkulasi media cetak yang menurun terjadi di pasar yang sudah matang karena konsumen bergeser ke digital," ujar Gilles.
Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, situasi yang berkembang di Amerika dan negara maju terkait industri surat kabar dapat menjadi bahan pelajaran.
Paling tidak, para pelaku dan insan industri di Indonesia dapat bersiap siaga apabila menghadapi situasi serupa di kemudian hari.
Dalam paparannya di hadapan puluhan insan media massa se-Asia pada diskusi bertajuk “Media Crossroads: Pathways to Sustainable Independent Journalism” di Riverview Hotel, Singapura, belum lama ini, Gilles menyebutkan industri perlu sigap beradaptasi terhadap perubahan tajam yang terjadi di pasar agar dapat bertahan.
Seolah mengamini yang disampaikan Cyril, Gilles memaparkan penurunan pendapatan memang sedang dihadapi industri media massa cetak secara global. Penurunan pendapatan itu terjadi sejalan dengan berkurangnya tiras surat kabar setelah masyarakat bergeser dari dunia cetak ke media digital.
Sebelumnya, ujarnya, bisnis surat kabar dapat menghasilkan margin keuntungan hingga 30%. Akan tetapi saat ini hanya tinggal 10%. Tidak aneh apabila terjadi penurunan margin keuntungan. Pasalnya, sebanyak 1% perubahan yang terjadi di sirkulasi dapat menyebabkan 3% perubahan pendapatan iklan.
Agar dapat menghadapi tantangan perubahan, perusahaan media massa mau tidak mau harus mengerti secara total khalayaknya. Tujuannya agar dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan khalayak.
Di tengah tren perubahan yang terjadi, ujar Gilles, sudah saatnya perusahaan media mengubah fokus dari sebelumnya fokus memperkuat sisi sirkulasi saja bergeser ke fokus untuk lebih banyak mengikutsertakan khalayak muda.
“Dengan tantangan yang dihadapi saat ini, sangat penting sekali surat kabar menggeser fokusnya. Dan tantangannya bukan secara sederhana memindahkan khalayak dari cetak ke digital, tetapi "mengikat" orang-orang yang lebih muda di tengah masyarakat,” ujar Gilles.