Bisnis.com, JAKARTA - Keterlibatan teknologi informasi (TI) dalam aktivitas sehari-hari semakin tak terelakkan. Meski begitu perubahan silih berganti di bidang ini menuntut kecermatan pengguna dalam menemukan efektifitas serta efisiensi.
Tak hanya personal, enterprise pun harus melakukannya jika ingin mendapat manfaat maksimal dari teknologi yang diadopsinya. Dari sisi jaringan misalnya arsitektur kabel (wired) dan nirkabel (wireless) dianggap sebagai hal penting.
Implementasi jaringan kabel telah lama mendominasi sistem TI di banyak perusahaan. Jaringan ini dinilai cukup terpercaya melayani aktivitas interkoneksi perusahaan. Sayang kerumitan kerap menjadi kendala penerapan maksimal arsitektur itu. Salah satunya adalah pengkabelan yang seringkali justru memicu biaya lebih besar.
Network Barometer Report 2013 yang dilansir Dimension Data menyebutkan sebagian besar jaringan komputer di berbagai negara termasuk Indonesia terdiri dari sekitar 80% wired port (kabel) dan 20% wireless local area network (WLAN) port. Satu wired port tentu saja hanya dapat melayani satu pengguna sedangkan WLAN dapat digunakan untuk multiakses.
Dimension Data memprediksi tuntutan enterprise mobility akan mengubah struktur jaringan di masa yang akan datang. “Pengguna tak ingin lagi terpaku di meja kerja mereka [melalui kabel jaringan], perusahaan kini dituntut memfasilitasi enterprise mobility,” ujar Presiden Direktur Dimension Data Indonesia Yudi Hamka di Jakarta belum lama ini.
Bring your own device (BYOD) dianggap sebagai bagian penting dari implementasi enterprise mobility. Atas nama produktivitas kemampuan karyawan menggunakan perangkat pribadi untuk berpartisipasi di jaringan perusahaan dinilai tak terelakkan lagi. Meski begitu menurut Yudi masih banyak organisasi dan perusahaan yang belum melakukan upgrade jaringan untuk mewujudkan lingkungan BYOD.
Dia menyebutkan biaya jaringan nirkabel jauh lebih rendah dibanding kabel. Saat membandingkan penerapan jaringan kabel yang melayani 100 pengguna dengan nirkabel dengan ukuran yang sama, pengurangan hardware seperti kabel, switch LAN dan pengendali LAN nirkabel dapat menekan biaya hingga 50%.
Pihaknya memprediksi implementasi semacam itu akan menjadi tren jaringan TI beberapa tahun mendatang. Tak hanya mengurangi investasi modal arsitektur seperti itu juga memudahkan saat pengelolaan. Daya dan sistem pendinginan yang dibutuhkan juga bakal lebih sedikit.
Yudi optimistis akomodasi struktur jaringan baru itu akan memberi manfaat pada pekerja mobile. Mobillitas itu pada akhirnya akan memacu kinerja perusahaan. Dia meyakini kondisi ke depan akan berubah di mana jaringan nirkabel akan mendominasi hingga 80% dibanding kabel.
“Perusahaan harus merencanakan jaringan dan anggarannya dengan lebih arsitektural bukan reaktif, TCO (total cost of ownership) akan lebih murah,” kata dia.
Dia menegaskan berbagai isu teknikal yang berkembang tidak akan serta merta menjadi solusi dalam dunia bisnis. Dibutuhkan perancangan arsitektur yang baik dan berorientasi masa depan. Sektor finansial dan manufaktur, kata dia, merupakan organisasi yang selayaknya segera mempertimbangkan penerapan BYOD itu.
Meski begitu Yudi mengatakan tantangan terbesar yang dihadapi berbagai organisasi saat ini adalah belum adanya konsel lifecycle management. “Masih banyak legacy network yang tak didukung lagi tapi masih dipakai. Risikonya besar.”
Menurut Network Barometer Report 2013 tahun ini terdapat 48% perangkat jaringan Cisco yang digunakan sejumlah perusahaan berada dalam tahap end of sale (EoS). Jumlah itu lebih tinggi 3% dibanding tahun lalu. Teknologi yang berada dalam status EoS harus menjadi perhatian penting perusahaan karena usianya sudah menua dan tak hampir tak ada dukungan. Kondisi itu memicu risiko tinggi.
Jumlah yang hampir sama juga ditemukan di Asia. Tahun lalu tercatat sebanyak 44% perangkat berada dalam kategori EoS. Tahun ini pun jumlahnya diperkirakan masih sama.
Dimension Data memprediksi kondisi “mengkhawatirkan” itu terjadi dalam tiga tahun terakhir. Lemahnya kondisi ekonomi dunia sepanjang 2012 dianggap sebagai salah satu pemicu.
Research Director Services IDC Australia Pty Ltd Linus Lai sebelumnya mengatakan pergeseran telah terjadi di kalangan perusahaan, dari memiliki hardware, software menuju ke managed service. Menurut data IDC lebih dari separuh perusahaan di kawasan Asia Pasifik kecuali Jepang khawatir dengan operasi data center. Sebanyak 54% fasilitas data center mereka telah berusia tua karena rata-rata dibangun di era 90-an.
Sebanyak 33% dari perusahaan yang disurvei juga mengalami masalah dengan keterbatasan tempat termasuk untuk sistem pengkabelan, sedangkan 20% di antaranya tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk pendinginan. Adapun sebanyak 17% tak memiliki sumber daya listrik yang mencukupi. Penelitian itu dilakukan dengan melibatkan 400 eksekutif C-suite seperti CIO, CTO, CMO, LoB dan CFO di Asia Tenggara.