BISNIS.COM, JAKARTA - Pemerintah berencana membatasi harga paling rendah kartu perdana guna menekan churn rate dan penyalahgunaan jasa telekomunikasi. Dalam draf revisi Rancangan Peraturan Menteri tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi diusulkan harga minimal kartu perdana Rp100.000.
Kepala Pusat Data dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S Dewa Broto menilai hal itu akan menjadi poin kritis.
“Kami juga sudah mengingatkan di tingkat internal terkait masalah angka itu, harus mempertimbangkan aspek sosialnya. Tapi ini kan sedang proses, RPM tersebut juga belum diuji publik,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (26/6/2013).
Dia menambahkan pihaknya cukup hati-hati dengan angka tersebut dan harus mempertimbangkan nilai keekonomiannya.
Pasal 6 draf revisi RPM tersebut menyebutkan kartu perdana wajib dijual dengan harga minimal seratus ribu rupiah. Harga tersebut tidak termasuk nilai deposit prabayar.
BRTI dalam fungsi pengawasan dan pengendalian juga dapat menetapkan harga minimal yang lebih tinggi dari tersebut mempertimbangkan situasi yang berkembang.
Setiap penyelenggara telekomunikasi dilarang menjual lebih dari lima kartu perdana untuk satu calon pengguna. Nomor yang tidak aktif selama dua bulan terus-menerus wajib segera di non-aktifkan dan di daur-ulang.
Ketentuan lain dalam draf tersebut adalah nomor daur ulang yang akan dijual kembali wajib dicatat history-nya dan dipastikan tidak ada kewajiban yang beralih kepada pengguna berikutnya.
Langkah semacam itu bisa saja diterapkan karena alokasi nomor yang diberikan pemerintah kepada operator justru tidak digunakan secara efisien. Pengetatan registrasi juga diharapkan dapat menekan penyalahgunaan jasa telekomunikasi.
Dia tidak menampik Permen No.23/2005 tidak berjalan dengan baik karena masih ada kendala. Meski begitu Gatot juga mengkritik praktik yang sering dilakukan operator telekomunikasi, di mana pendaftaran pengguna yang datanya tidak valid justru dibiarkan.
“Seharusnya mereka tidak boleh ragu untuk melakukan pemblokiran kalau memang ada pelanggaran. Operator bisa mengecek tapi memang tidak bisa membeberka data sembarangan karena itu juga ada aturannya,” katanya.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan poin penting dalam hal aturan registrasi ini adalah verifikasi. Menurutnya saat ini sangat sulit mengetahui berapa sebenarnya jumlah pengguna kartu seluler. Selain penggunaan yang double atau lebih per pengguna, saat ini kartu seluler juga banyak dipakai oleh mesin.
“Kalau disebutkan pengguna 270 juta itu yang sebenarnya berapa? Menurut saya yang paling penting adalah verifikasi. Yang lama didata ulang,” katanya.
Dia mengatakan registrasi yang sudah berjalan selama ini tidak cukup mulus. Hal itu terjadi salah satunya karena tidak adanya sistem penomoran nasional yang dapat menjadi basis saat registrasi. “Mungkin kalau sekarang ada eKTP itu bisa lebih baik,” imbuhnya.
Heru juga berharap pemerintah bisa mendorong migrasi dari kartu prabayar ke pascabayar. Hal itu juga menjadi langkah efektif terkait persoalan registrasi. Menurutnya keputusan untuk menetapkan harga minimal kartu perdana bukanlah langkah yang bagus. Kalaupun nantinya diterapkan, dia berharap pemerintah bisa menjelaskan dari mana angka tersebut didapat.
Dia menegaskan pemerintah harus berhati-hati sehingga tidak melanggar aturan mereka sendiri. “Pentarifan itu ada aturannya PM No.9/2008. Itu harus jadi pertimbangan jangan sampai nanti ada pertentangan,” katanya. Heru mengatakan industri kemungkinan tidak akan sepakat manakala aturan minimum harga tersebut ditetapkan.
Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia Alex J Sinaga sebelumnya mengatakan saat ini penetrasi pengguna seluler di Indonesia sudah mencapai 120% dengan jangkauan mencapai 95% dari total populasi.
Jika dilihat dari sisi industri, kata Alex, saat ini diketahui EBITDA (earnings berfore interest taxes, depreciation and amortization) margin operator berkisar antara +56 hingga -50. Artinya ada operator yang cukup sehat namun ada pula operator yang masih tertatih-tatih dibandingkan rata-rata industri.
Alex menyebutkan dari segi harga, tarif layanan telekomunikasi di Indonesia juga masih paling murah dibanding negara lain dalam satu regional.