Setelah mendapatkan izin operasi, Blue Bird terus berekspansi dengan armada taksinya, bahkan berhasil mengepakkan sayap-sayap bisnisnya ke banyak usaha angkutan nonpenumpang, logistik, manufaktur, properti hingga jasa penunjang.
Bagi Purnomo Prawiro, menjadi President Director Blue Bird Group, laksana memimpin kapal besar dengan ribuan awak. Seperti apa perjalanan Blue Bird, dan strategi menghadapi tantangan bisnisnya, Bisnis berbincang dengan generasi 1,5 dari pendiri perusahaan itu. Berikut petikannya:
Bagaimana awal perjalanan Blue Bird?
Sebenarnya kami bukan keluarga pengusaha. Kami dari keluarga akademisi. Pak Djoko Djokosoetono [orang tua Purnomo Prawiro] almarhum adalah ahli hukum pada era 1950-1960 yang diandalkan Bung Karno. Adapun Ibu Djoko [Mutiara Djokosoetono] sebagai asistennya. Beliau bergerak di bagian hukum.
Ada beberapa karya Pak Djoko, seperti mengambil-alih UI dari tangan Belanda. Beliau juga mengembangkan ilmu hukum sipil, lalu mendirikan pendidikan hukum kepolisian yang sekarang menjadi PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Kemudian merintis jurusan hukum militer di Universitas Trisakti.
Pada 1965 beliau wafat. Selama hidup kami tak ada uang karena beliau sangat jujur; bukan hanya uang, tetapi juga soal waktu.
Sebelum Pak Djoko meninggal, Ibu Djoko mencari income tambahan dengan menjual batik dari Pekalongan, kemudian berdagang telor dari Wonosobo. Itu demi membiayai pendidikan anak–anak.
Setelah Pak Djoko meninggal dunia, dari Kepolisian memberikan satu sedan, TNI juga memberi satu mobil, serta satu rumah di Jl. HOS Cokroa minoto. Nah, mobil itu kami pakai untuk taksi gelap, karena pada 1965 belum ada izin. Pada 1971 baru ada izin.
Pada 1965 itu kan, ada taksi gelap di beberapa titik seperti di Menteng, Megaria. Tapi kami beda. Kami menerima order on call dari tamu-tamu hotel. Dalam waktu 7 tahun kami punya 71 taksi. Itu saat kami dapat izin taksi.
Perjuangan mendapatkan izin itu berat. Pertama kali mengajukan izin ditolak. Alasannya tidak berpengalaman. Saat itu, banyak orang yang diberikan izin taksi.
Gubernur DKI akhirnya member izin karena sebagai janda pahlawan. Ya, bisa jadi karena belas kasihan. Kami dapat kesempatan baik itu akhirnya dikembangkan.
Kami tidak ada pikiran akan menjadi pengusaha besar, karena hidup kami sulit sekali. Kalau sarapan saja kami hanya pakai dua kentang rebus dan ikan asin. Itu level kehidupan kami saat itu. Kalau malam kami tidak ada makanan, ada sate keliling sepuluh tusuk dibagi empat orang.
Yang paling berat, tetangga itu orang kaya semua. Kami tinggal di Menteng, saya bergaul dengan anak Menteri Adam Malik dan lainnya.
Blue Bird setelah itu?
Setelah berkembang kami mulai cari kredit bank. Tak ada track record, kami susah juga. Akhirnya Bu Djoko ingat waktu pemakaman ayah ada seseorang petinggi bank bilang kalau perlu apa-apa datang ke kami.
Itu Direktur Bank Bumi Daya [bank tersebut merger menjadi PT Bank Mandiri Tbk]. Kami ditanggapi dan mendapatkan kredit. Jaminannya rumah. Kemudian kami belanja taksi. Dari dua unit menjadi 25 mobil. Ke mu dian 71 mobil dan menjadi 100 mobil.
Dengan menjadi 100 unit kami terus kembangkan. Moto kami, Harus Kerja Keras dan Konsentrasi. Filosofinya mau menjadi pengusaha bagus, tentara, dan wartawan bagus ya harus kerja benar. Kerja keras full konsentrasi.
Bagaimana kerja yang bagus?
Waktu itu sulit mendapatkan orang jujur, sehingga menerapkan culture itu berat. Itu tonggak Blue Bird untuk survive dan berkembang.
Kemudian kami terapkan budaya kekeluargaan, bukan di perusahaan semata. Saya yakin Indonesia itu orang timur sehingga human touch diperlukan. Dengan pendekatan itu orang lebih nyaman.
Misalnya, saat bulan Puasa, di rumah kami selenggarakan buka bersama karyawan, yang datang bisa 2.000 orang. Kami mem baur. Tidak ada sebutan direktur, semua sama. Tak ada nasi kotak, pakai prasmanan, tak ada meja, semua du duk di bawah. Itu tradisi, mereka bisa ketemu pimpinannya. Blue Bird ada 25.000 karyawan.
Buat saya, kasihan dan bahaya kalau karyawan tak pernah ketemu saya. Itu akan ada gap, pemikiran akan berbeda. Kami juga ada award untuk yang berprestasi. Keluarga pengemudi yang kena banjir diberi bantuan. Itu kekeluargaan. Human touch. Itu filosofi agar lebih baik.
Ketemu dengan staf tidak sulit. Kalau mau ketemu ya ketemu. Itu satu hal yang perlu kita kembangkan.
Tantangan yang Anda hadapi?
Dua hal besar. Pertama, mengalihkan ke generasi berikutnya. Pengusaha generasi ketiga, menghabisi. Itu tidak benar. Jadi yang berat generasi ketiga agar peralihan smooth.
Kedua, tanggung jawab pekerja. Kami setiap hari menambah pekerja. Sekarang 36.000 orang karyawan. Sekarang 140.000 lebih. Itu kami piker Blue Bird nggak boleh jatuh.
Visi kami bukan hanya untuk makan, tetapi untuk kesejahteraan stakeholder, artinya untuk pemilik, karyawan, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan. Kami merasa ini harus berjalan bersama dengan pekerja. Tanggung jawab lingkungan juga termasuk kelestarian alam.
Pendapat Anda tentang inovasi?
Continues improvent. Dunia berubah cepat dalam 100 tahun terakhir. Sepuluh tahun terakhir berubah ke elektronik. Kendaraan kami sekarang 26.000 unit. Kalau nggak ada teknologi bisa out of control.
Saat armada baru 100 mobil, dan ada yang ketinggalan barang, mungkin bisa ditanyakan nomor mobil berapa, ciri-ciri sopirnya seperti apa. Kami panggil. Tapi sekarang sudah ribuan mobil. Kejujuran itu satu aspek yang sangat penting, tetapi perlu ditopang oleh teknologi agar menjadi sempurna.
Rekrutmen menggunakan data yang jelas, tim human resourcer development semuanya psikolog. Ada beberapa hal yang kita hindari pada karyawan, seperti tato pada tubuh. Meski itu seni, tapi kita tak bisa membedakan. Penumpang bisa takut juga.
Inovasi itu harus dikembangkan. Inovasi pertama adalah taksi panggilan. Inovasi dengan radio pada 1970-an. Penggunaan AC pada 1980-an. Dulu tidak perlu ada AC karena tidak sepanas sekarang. Kita makin lama makin manja.
Kami juga memakai GPS (global positioning system). Kemudian PMA kita approvement.
Dari Singapura belajar soal taksi ke sini. Dari Kementerian Perhubungan Malaysia belajar ke sini beberapa kali. Buat kita membanggakan, buat bangsa kita. Kita lebih advance dari pada di sana.
Kemudian kita pasang akhir tahun lalu dengan EDC (electronic data capture). Kemudian pemasangan GPS langsung dengan peta.
Begitu dapat orgder langsung tahu di mana lokasinya. Pengemudi tahu di sana penumpang tahu. Penumpang live di jalan. Paling akhir nomor mobil dan telepon mobil ke penumpang.
Bagaimana dengan persaingan?
Pesaingan itu indah dan sakit. Sakit kalau kalah. Indah kalau untuk berkompetisi. Di Jakarta kalau hanya S-1 maka tidak ada yang ingin S-2. Itu positif. Buat saya selama pesaing meningkat, kita akan tercambuk dan berinovasi, kalau menang terus lamalama tambah happy.
Di dunia ini tidak ada yang tanpa saingan. Persaingan itu daya tarik. Kalau banyak pemain kita bisa memilih. Jadi gampang naik taksi, konsumen punya pilihan.
Harapan tentang perusahaan ini 20 tahun mendatang?
Di dunia ini taksi selalu diperlukan. Mass rapid transportation (MRT) dan busway bagus, taksi tetap ada. Di Tokyo, MRT bagus tetapi setiap 100 meter masuk gang ada taksi. Singa pura tetap ada taksi. Tinggal polanya berbeda.
Sekarang bis umum tidak bagus sehingga ke Jakarta naik mobil. Nanti kalau jalur bus bagus, dari Bekasi ke Jl. Sudirman naik busway. Jarak dekat naik taksi. Pola akan sedikit berbeda. Busway bukan ancaman. Busway berhasil penumpang akan tambah banyak.
Bagaimana di luar Jakarta?
Gross domestic product Indonesia bagus. Kita bangun gedung luar biasa. Saya terakhir umroh 6 bulan yang lalu di Mekkah banyak orang Indonesia dari Kalimantan, dan daerah lain. Ekonomi dan sosial mereka membaik. Makin bisa pakai mobil, bisa pakai taksi.
Bagaimana ekspansi bisnis?
Ekspansi bisnis kita akan ke logistik, selain angkutan penumpang berupa taksi reguler, limosin, dan bus.
Setelah 2014 kami ingin ekspansi ke regional. Blue Bird itu kan terkenal layanannya yang bagus. Orang Indonesia itu jiwanya melayani. Itu kami bawa keluar. Kami akan ekspor nama Indonesia. Buka franchise pada akhirnya.
Apakah situasi sulit yang pernah Anda hadapi?
Kalau menghadapi pembukaan usaha di kota baru dan didemo. Tapi begini, visi kami baik, kalau kota itu perlu transportasi yang baik kami masuk. Kalau kota itu memerlukan taksi yang baik kami masuk. Kita tidak melihatkan bottom line.
Seperti kita masuk Bandung. Sekarang di sana taksinya bagus. Semua pakai argometer. Selain itu, secara makro bisnis taksi jadi meningkat. Orang yang tadinya tidak mau naik taksi jadi mau. Meski awalnya kami babak belur, kini tidak ada lagi taksi yang pakai argo kuda.
Siapakah idola Anda?
Ibu saya yang paling dikagumi. Ibu saya itu anaknya orang kaya lho. Sebagai gambaran, pada 1920-an, orang tua Ibu Djoko punya lima pabrik gula. Tetapi tetap low profil.
Ibu saya juga very low profile, termasuk ketika menjadi direktur utama. Ibu saya instingnya juga kuat sekali.
Apa yang memengaruhi seseorang jadi entrepreneur? Keturunan, lingkungan, atau pendidikan?
Mix. Saya tidak percaya sepenuhnya kepada genetika. Orang menjadi tentara karena lingkungannya tentara. Ada pengaruh lingkungan. Penunjang utama adalah pendidikan. Pendidikan itu membentuk cara berfikir. Saya ini dokter [yang] pengusaha.
Organisasi itu juga penting, harus bisa berorganisasi, karena meng-handle perusahaan tidak seperti mengendalikan mesin. Lalu ada kesempatan. Di Indonesia, kesempatan itu banyak. Di negara berkembang, semua dibutuhkan, kantor, rumah, dan lainnya. Jejaring juga penting.
Pengusaha itu seperti anak kecil. Musti jatuh dulu. Baru dia mengerti. Bagaimana jalan yang baik. Jangan pikir jadi pengusaha akan mulus. Kalau tidak ada tantangan, daya tahan akan kurang.
Pernah jatuh?
Satu-dua usaha pernah jatuh. Nggak semua glory. Begitu tidak berkembang jangan menangis.
Karena apa?
Tidak tepat waktunya, perencanaan dan faktor lainnya. Kalau masuk bisnis full konsentasi dan bisnis itu tambah besar sulit digoncang. Pangsa pasar makin kuat. Kita bisa mendapatkan eksekutif lebih bagus. Namanya lebih dipercaya.