Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memberikan tenggat waktu maksimal 2 tahun bagi platform digital seperti Facebook, Instagram, dan lainnya untuk mematuhi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS).
PP Tunas diterbitkan sebagai upaya melindungi anak-anak dari berbagai risiko di dunia digital, seperti penyalahgunaan data pribadi dan paparan terhadap konten yang tidak layak. Regulasi tersebut mengharuskan penyelenggara sistem elektronik (PSE) untuk melakukan penyaringan terhadap konten yang dapat membahayakan anak, menyediakan saluran pelaporan yang mudah diakses, serta menjamin adanya proses penanganan yang cepat dan terbuka.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan meskipun batas waktu maksimal adalah dua tahun, pemerintah tetap membuka ruang percepatan apabila para platform sudah siap.
“Kalau di undang-undang yang tertulis adalah maksimal dua tahun. Namun demikian kami bisa melakukan dengan lebih cepat, kalau melihat para platform ini juga sudah siap. Kami harapkan mereka juga dengan menghormati aturan yang ada di Indonesia,” kata Meutya usai acara diskusi Fasilitasi Literasi Digital untuk Perempuan, Anak, dan Komunitas ‘Klik Aman, Anak Nyaman: Bijak Gawai, Cerdas Online’ di Makassar pada Senin (16/6/2025).
Meutya menekankan Komdigi sejatinya telah menerapkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN) untuk mengawasi dan memastikan PSE lingkup privat, termasuk platform media sosial, mematuhi aturan terkait moderasi konten, terutama dalam hal penghapusan konten ilegal seperti pornografi anak, terorisme, perjudian online, dan lainnya. Platform diwajibkan melakukan takedown dalam waktu tertentu maksimal 4 jam untuk konten prioritas dan 24 jam untuk kategori lainnya. Namun memang platform masih banyak yang belum patuh dan pihaknya tengah mengevaluasi hal tersebut.
Terkait implementasi PP Tunas, Meutya mengatakan pemerintah masih memberikan waktu adaptasi bagi platform digital, termasuk untuk menyesuaikan teknologi verifikasi usia pengguna. Namun, proses sosialisasi dan pemanggilan terhadap platform sudah mulai dilakukan.
“Jadi kami memberikan waktu bagi mereka misalnya menyiapkan teknologi untuk membaca betul, orang ini verifikasi usia, orang ini betul dewasa atau apa-apa, dan sebagainya,” tambahnya.
Jika setelah tenggat waktu yang diberikan masih ditemukan pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap PP Tunas, Komdigi tak segan menjatuhkan sanksi, termasuk pencabutan izin operasi platform digital tersebut di Indonesia.
Sebelumnya, Komdigi menegaskan sejumlah platform digital masih belum sepenuhnya mematuhi PP Tunas. Meutya mengatakan pemerintah telah menempuh berbagai upaya untuk mendorong kepatuhan, mulai dari perintah take down konten hingga pemanggilan langsung terhadap platform yang membandel. Namun, realisasi di lapangan menunjukkan masih banyak pelanggaran yang luput dari tanggung jawab penyelenggara platform.
“Kadang platform tidak comply [patuh], jadi kalau ada yang tanya kenapa iklan judi online masih ada di Facebook, harusnya pada memahami bahwa kami sudah melakukan take down, tetapi kan mereka menjadi rumahnya,” katanya.
Meutya juga menjelaskan pemerintah tidak bisa langsung serta-merta menutup platform digital yang dianggap membahayakan anak-anak. Hal tersebut karena ruang digital tetap perlu memberikan kebebasan berekspresi bagi pengguna dewasa.
Oleh sebab itu, pendekatan yang dilakukan lebih banyak menyasar pada pembatasan akses anak-anak terhadap konten yang berbahaya. Lebih lanjut, Meutya mengungkapkan bahwa beberapa platform justru belum menggunakan alat moderasi konten secara optimal sebagaimana yang diatur dalam PP Tunas. Bahkan untuk konten yang sangat sensitif seperti pornografi anak, platform digital seringkali tidak segera melakukan penurunan (take down).
“Jadi artinya mereka belum sepenuhnya comply,” tambah Meutya.
Meutya juga menekankan, upaya menciptakan ruang digital yang aman tak bisa dibebankan hanya kepada pemerintah. Publik juga harus berani mengkritik layanan platform yang dinilai lalai atau membahayakan.
“Dari perspektif industri, mereka akan menurut pada pasar. Jadi, pasarnya yang harus sama-sama mengkritik: ‘Saya tidak mau anak saya pakai platform.’ Selama customernya tidak mengkritik tokoh-tokohnya, para penjualnya. Mereka akan dengan senang hati terus berjualan,” katanya.
Dia memastikan bahwa pemerintah akan terus memanggil dan mendorong platform-platform digital asing agar mematuhi ketentuan hukum di Indonesia. Jika tetapi tidak menunjukkan komitmen setelah berbagai peringatan, maka pemerintah siap mengambil tindakan lebih tegas.
“PP ini juga nanti memang akan melakukan review, apakah perlu izin yang dicabut dan sebagainya. Jadi pada ujungnya, kalau memang terlalu tidak comply berkali- kali setelah diperingatkan, ada satu tindakan tegas yang akan diberikan kepada para platform ini,” pungkas Meutya.