Bisnis.com, JAKARTA - eFishery, salah satu perusahaan rintisan agritech terkemuka di Indonesia, sedang menghadapi penyelidikan terkait adanya tuduhan pengelembungan pendapatan dan laba.
Melansir dari Straits Time, Rabu (22/1/2025) penyelidikan ini dipicu adanya laporan yang mencurigakan terkait praktik akuntansi di eFishery.
Dalam draf laporan setebal 52 halaman yang beredar di antara para investor dan diulas oleh Bloomberg News diperkirakan manajemen menggelembungkan pendapatan hampir US$600 juta atau Rp9,7 triliun (kurs Rp16.197) selama Januari-September 2024
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa lebih dari 75% dari angka-angka yang dilaporkan adalah palsu.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa pendapatan eFishery untuk periode Januari hingga September 2024 sebenarnya hanya sekitar US$157 juta, jauh dari angka yang diumumkan sebesar US$752 juta.
Investigasi lebih lanjut juga menemukan ketidaksesuaian dalam laporan keuangan beberapa tahun sebelumnya.
Dewan direksi kemudian menugaskan investigasi formal pada bulan Desember, dan memecat salah satu pendiri dan CEO Gibran Huzaifah setelah ketidakkonsistenan akuntansi ditemukan.
“Kami sepenuhnya menyadari beratnya spekulasi pasar, dan kami menangani masalah ini dengan sangat serius,” kata eFishery dalam pernyataan melalui email.
Laporan penyelidikan yang disusun oleh FTI Consulting, yang masih berstatus draf, mencatat bahwa kerugian perusahaan bisa jauh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.
Selain itu, sejumlah pihak mengungkapkan bahwa meskipun eFishery mengklaim memiliki lebih dari 400.000 pengumpan ikan yang beroperasi. Namun dalam investigasi awal diperkirkan bahwa jumlahnya hanya sekitar 24.000 unit.
Sumber-sumber internal perusahaan juga menyebutkan bahwa eFishery telah mempekerjakan firma audit ternama seperti PricewaterhouseCoopers dan Grant Thornton, kedua perusahaan tersebut enggan memberikan komentar terkait penyelidikan ini.
Para investor kini mempertanyakan langkah-langkah yang harus diambil terhadap aset dan sisa uang tunai perusahaan, yang totalnya diperkirakan mencapai US$220 juta, termasuk US$63 juta dalam piutang usaha.
Tuduhan penipuan ini tentu dapat merugikan dunia start-up Indonesia yang sedang berkembang, terutama di tengah tantangan besar bagi perusahaan dan investor muda untuk mendapatkan pendanaan baru.