Bisnis.com, JAKARTA- Tahun 2024 menutup babak yang penuh dinamika bagi ekosistem usaha rintisan di Indonesia. Meski diwarnai oleh tantangan ekonomi global, sektor ini tetap menunjukkan ketangguhannya.
Beberapa perusahaan berhasil mendapatkan pendanaan besar, sementara lainnya terus beradaptasi dengan model bisnis yang lebih berkelanjutan.
Laporan terbaru Bain & Google dalam ”E-Conomy SEA 2024” mengungkapkan bahwa ekonomi digital Indonesia bertumbuh dan diprediksikan akan mencapai GMV (gross merchandise value) sekitar US$90 miliar pada 2024. Nilai tersebut meningkat sekitar 13% dari tahun 2023 lalu plus menjadikan Indonesia sebagai yang terbesar di Asia Tenggara.
Meskipun fenomena tech winter berlangsung pada 2024, potensi pengembangan bisnis startup dan bisnis digital di Indonesia masih berpeluang ke tren positif. Menurut laporan yang sama, 65% investor di Indonesia memperkirakan pendanaan dalam negeri akan meningkat antara tahun 2025 hingga 2030.
Elisabeth Kurniawan, Angel Investor dan Advisor mengatakan dengan akselerasi pada digital transformasi, banyak customers dan bisnis yang akan beradaptasi dengan solusi digital.
"Walaupun tech winter masih ada, namun untuk bisnis yang kuat fundamentalnya, malah akan tersaring dengan sendirinya, dan terus berkembang. Jadi dari tech winter ini, saya malah melihat peluang yang bagus untuk menilai bisnis yang masih bertahan," jelas Elisabeth dalam keterangannya kepada Bisnis, dikutip Jumat (17/1/2025).
Dia menambahkan banyak bisnis tradisional yang akan mau tidak mau harus beradaptasi dengan support digital untuk pengembangan efisiensi. Hal ini akan membuat banyak kesempatan untuk startup menciptakan solusi dan berkembang dari inovasi lainnya.
Selain itu talenta ahli teknologi juga akan terus berkembang yang membuat talent pool yang lucrative dan mendukung inovasi dan scalability dari suatu bisnis," tambahnya.
Elisabeth menambahkan prospek startup ditantang hadirkan bisnis fundamental yang harus kuat. Artinya tidak hanya customer akusisi, tapi dari retensi customer, dan potensi profitability, bukan hanya “burning”.
Dia meyakini kedepannya tren kolaborasi antara offline dan online akan mencuat. Selanjutnya dari sisi ekosistem, kolaborasi startup, misalnya, co-working, virtual office, inkubator dan mentorship accelarator, Elisabet melihat, akan terus mendukung para pebisnis digital. Dengan ekosistem yang kuat, maka startup akan semakin terdukung bisnisnya.
Elisabeth juga melihat kepercayaan konsumen pada startup dan produk lokal meningkat. Seperti pada solusi digital yang dibangun dari startup, mulai dari payment, fintech, sampai daily essentials commerce grocery. Kepercayaan ini membuat perkembangan startup semakin hari semakin positif.
Adopsi teknologi baru, seperti artificial intelligence dan internet of things (IoT) juga akan menjawab tantangan dalam membuat bisnis yang agile Dengan mendigitalkan UMKM, membangun kepercayaan konsumen, dan berkolaborasi dengan pemerintah, startup semakin memperkuat perannya dalam perekonomian.
"Dengan kelas menengah yang terus berkembang penetrasi smartphone yang tinggi, dan kepercayaan investor, landscape startup Indonesia siap untuk terus tumbuh dan berinovasi," jelasnya.
Ke depannya, tantangan yang masih harus diwaspadai adalah tantangan dengan sentimen startup yang “burning” di marketing untuk akusisi consumers harus diimbangi dengan strategi retensi. Dia menilai walaupun awalnya startup pasti akan berada dalam posisi “red” dan “burning”, harus ada tren yang mengarah ke profitabilitas dari awal.
Dia menyarankan sebuah startup harus mengutamakan strategi yang kuat dan berfokus pada pendapatan (revenue) dan profitabilitas terlebih dahulu. Selanjutnya startup tersebut dapat meningkatkan atau memperbaiki produknya.
“Akusisi customer boleh, dan harus. Namun jangan sampai bablas dengan “burn rate”. Anggapannya, bisnis harus jalan dengan ada atau tidak adanya investor,” jelasnya.