Bisnis.com, JAKARTA - Baidu, perusahaan web asal China, menyebut teknologi kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh perusahaan rintisan hanyalah ‘bubble’ yang rentan meletus. Ledakan gelembung tersebut akan menghancurkan startup.
CEO Baidu Robin Li mengatakan bahwa model bahasa besar yang dihasilkan oleh teknologi AI Startup bukanlah sesuatu yang besar saat ini. Teknologi tersebut bahkan bakal menghancurkan startup saat tidak memiliki diferensiasi dengan teknologi lainnya. Robin memberi istilah momen tersebut sebagai ‘gelembung pecah’.
"Mungkin satu persen perusahaan akan menonjol dan menjadi besar dan akan menciptakan banyak nilai atau akan menciptakan nilai yang luar biasa bagi masyarakat. Dan saya pikir kita baru saja melalui proses semacam ini,”kata Robin, dikutip dari The Register, Senin (21/10/2024).
Li juga mengatakan gelembung AI tersebut mirip dengan gelembung dot-com pada tahun 90-an. Gelembung tersebut nampak indah walaupun sebenarnya banyak kelemahan.
Li juga memperkirakan 10 hingga 30 tahun ke depan pekerjaan manusia digantikan oleh teknologi. Seluruh lapisan Survei Hewlett Packard Enterprise (HPE) mengungkap bahwa sebanyak 21% proyek kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) gagal tereksekusi sepanjang 2023.
Sebelumnya, Regional Sales Director Hewlett Packard Enterprise Gwee Yee Teong menyampaikan bahwa 1 dari 5 proyek AI mengalami kegagalan dengan alasan utamanya karena teknologi AI yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Adapun sisanya, disebabkan oleh hal yang lebih teknis seperti pengujian.
“31% teknologi AI tidak bekerja seperti yang diharapkan atau dijanjikan, 27% disebabkan oleh tantangan penyebaran model Al, dan 26% karena tantangan pengujian model Al,” kata Teong dalam acara Financial Forum 2024 bertajuk Empowering The Future of Banking With AI di Jakarta, Selasa (30/7/2024).
Lebih lanjut, Teong merincikan bahwa kegagalan proyek AI sepanjang 2023 juga disebabkan oleh kurangnya staf yang ahli di ranah AI, yakni sebanyak 26%. Serta, 26% disebabkan karena harapan yang tidak realistis.
“Jadi kami menyadari bahwa ada kekurangan keterampilan AI di seluruh industri. Jadi menyusun rencana untuk pelatihan dan re-skilling itu penting,” ungkapnya.
Di samping itu, Teong menyebut bahwa dukungan C-level juga penting untuk memastikan keberhasilan dalam mengadopsi teknologi AI.
Selain itu, Teong menuturkan bahwa adanya lima hambatan dalam mengadopsi AI, yakni sebanyak kepercayaan atau bias dalam data (32%), kurangnya personil yang terampil (32%), biaya solusi (29%), operasionalisasi kerangka kerja Al (28%), dan kesulitan memilih algoritma yang tepat (24%).
Padahal, survei yang dilakukan HPE bersama dengan IDC menunjukkan bahwa 92% organisasi di Asia Pasifik telah menggunakan teknologi AI.
“Kami telah melihat perusahaan mengubah anggaran atau menempatkan proyek AI pada prioritas yang lebih tinggi, jadi kami telah melihat pengeluaran di sana,” ujarnya.
masyarakat perlu menyiapkan diri untuk menyambut momen tersebut.