Bisnis.com, JAKARTA - AI merupakan istilah yang sering diperbincangkan, atau mungkin telah jamak dipraktikkan oleh kita saat ini. Ada potensi dampak buruknya, tetapi banyak pula manfaatnya, tergantung bagaimana kita mengoptimalkan produk kebaruan ini.
Dalam Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (SNKAI), AI hanya dapat menjadi kepercayaan publik apabila tetap melibatkan manusia sebagai pengawasnya, atau dikenal human-in-command dalam pengambilan keputusan, termasuk di dalamnya keputusan bisnis dan ekonomi.
Sektor ekonomi menjadi salah satu area di mana, AI dapat dimanfaatkan. Riyadi (2024) mengatakan AI dapat membantu menganalisis data ekonomi, menghasilkan insights, dan membantu penentu kebijakan dalam menghasilkan suatu kebijakan yang berbasis data.
Ruang lingkup berupa peramalan ekonomi, kebijakan moneter, belanja publik, manajemen risiko keuangan sampai dengan analisis pasar tenaga kerja menjadi beberapa scope AI sektor ekonomi.
Opini ini akan mengangkat bagaimana perkembangan pemanfaatan AI dalam proyeksi inflasi. Inflasi adalah tantangan yang pasti dihadapi oleh perekonomian suatu negara. Walaupun Indonesia saat ini sedang mengalami deflasi secara bulanan, tetapi potensi terjadinya inflasi secara tahunan masih menjadi risiko dalam perekonomian.
Dalam aplikasi praktis, AI telah digunakan di beberapa negara misalnya di Inggris. AI digunakan dalam memberikan sinyal saat harga barang merangkak naik. Davies (2024) dalam kajiannya menggunakan AI dalam bentuk large language model (LLM).
Mereka menggunakan 25 juta item harga pangan harian antara Juli 2023 hingga April 2024 dari tujuh supermarket yang mewakili 80% penjualan di Inggris. Pemantauan secara real time juga ditempuh untuk mendapatkan insight tentang frekuensi, waktu, dan distribusi perubahan harga, sebagai bagian dari perilaku harga.
LLM yang digunakan mampu mengolah data dengan frekuensi dan ketelitian yang tinggi, sehingga error dapat diminimalisasi. Hasilnya, pengolahan data tersebut digunakan untuk memberikan sinyal apabila terjadi inflasi, memeriksa sumber inflasinya, mempelajari pola kekakuan (rigiditas) harga di tingkat korporasi atau produsen, sampai dengan membangun data IHK yang diperbarui secara otomatis tiap harinya.
Berbeda pendekatan dengan hal tersebut, dari dalam negeri, terdapat kajian dari Woelandari & Aginta (2024) yang mengimplementasikan AI dalam menghitung ekspektasi inflasi dengan menggunakan berita yang ada di media dan perbincangan di media sosial.
Kenapa media? Kajian tersebut menyebut bahwa media memiliki peran penting sebagai endorser pembuat kebijakan, serta membantu menyuarakan pengendalian inflasi dan keamanan pasokan.
Sebaliknya, media pula lah yang memberitakan apabila terjadi potensi inflasi, seperti kenaikan harga pangan, gangguan pasokan atau distribusi, sampai dengan bencana alam. Umpan balik juga ditangkap melalui media sosial.
Media sosial turut memberikan pengaruh dalam munculnya sentimen (baik positif maupun negatif) dari penggunanya dan echoing atau replikasi dari media nasional dan daerah (faktor spasial).
Peran influencers yang menyampaikan informasi dan edukasi tentang inflasi juga turut menjadi input. Fungsi AI disini membentuk alert apabila terjadi potensi inflasi serta dengan pendekatan machine learning (ML) membantu memberikan alternatif solusi bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan.
Bukan tidak mungkin, penggunaan AI secara tepat dapat menghasilkan hasil perhitungan yang menyamai, atau bahkan lebih tepat dibandingkan dengan model matematis yang sering dipakai sebelumnya. Studi kasus yang dialami oleh bank sentral India, atau RBI misalnya.
Ekonom RBI menyimpulkan bahwa prediksi inflasi dengan algoritma ML lebih presisi dibandingkan pemodelan konvensional, misal proyeksi Kurva Philip. Algoritma ML mampu menangkap hubungan nonlinier dan perubahannya, misalnya saat pra dan pascapandemi serta perubahan harga secara mendadak dan berskala besar.
Meskipun begitu, bank sentral Eropa atau ECB tetap berpandangan bahwa peramalan inflasi menggunakan AI hanya didudukkan sebagai pelengkap saja, bukan menggantikan metode yang telah ada. Mereka berpandangan, konsep linieritas yang ada pada perangkat kebanyakan bank sentral masih memberikan jawaban yang benar, sejalan dengan hasil perhitungan ekonometrik AI yang canggih.
Lantas, bagaimana penerapan di Indonesia? bank sentral Indonesia mengadaptasi pengimplementasian AI dalam perumusan kebijakan dan pendukung kebijakan, misalnya dalam memprediksi inflasi, proyeksi pertumbuhan ekonomi, pola konsumsi, sampai dengan pengukuran kinerja institusi.
Tidak ketinggalan, berdasarkan hasil diskusi, telah banyak industri perbankan dan keuangan yang mengimplementasikan AI sesuai dengan pola bisnis modelnya. Mulai dari customer experience, analisis kredit, smart operations, sampai dengan analisis risiko.
Oleh karenanya, mengelaborasi dari berbagai pandangan, penulis menyimpulkan bahwa pengimplementasian AI kaitannya membantu pengambilan keputusan ekonomi dan keuangan harus mencermati hal-hal berikut: (i) pentingnya mitigasi risiko penggunaan AI yang disebabkan informasi asimetris, (ii) AI membutuhkan dukungan ruang pengambilan keputusan yang cepat, karena secara alamiah AI identik dengan hiper-evolusioner serta mampu memperbaiki diri dengan cepat.
(iii) Pentingnya kolaborasi antara pemerintah atau institusi penyusun kebijakan dengan sektor swasta, mengingat peran swasta dinilai lebih cepat beradaptasi dengan pola kebaruan ini.
Sebagai penutup, penggunaan AI sangat membantu para pengambil keputusan kebijakan secara lebih efisien dan efektif, termasuk kaitannya meramalkan inflasi.
Secara praktiknya, menyusun prompt atau perintah AI sangat krusial dalam pemahaman tugas yang diberikan pada AI. Bahkan dengan data kueri yang sama, kehandalan hasil AI dipengaruhi oleh variasi prompt itu sendiri.
Selain itu, melatih AI melalui penyediaan data merupakan tantangan tersendiri. Hal ini karena AI dituntut untuk memberikan proyeksi yang tepat tanpa melakukan mimicking atau menyerupai data lampau.