Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu melakukan revisi mengenai definisi broadband di Indonesia, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, dengan harapan kecepatan internet Tanah Air meningkat. Peningkatan tersebut akan berdampak pada posisi kecepatan Indonesi mata global.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan pemerintah perlu mempertegas pengertian mengenai broadband di Tanah Air.
Pemerintah, lanjutnya, juga disarankan meniru langkah AS yang melakukan definisi ulang broadband dan menaikkan standarnya dari 25 Mbps pada 2015 menjadi 100 Mbps pada 2024.
“Biasanya yang dilakukan di AS, akan menjadi standar [di Indonesia], sehingga yang dibawah 100 Mbps bukan broadband [nantinya]” kata Ian, Senin (18/3/2024).
Indonesia, sambung Ian, berpeluang meniru AS dengan menerapkan minimal batas internet braodband 100 Mbps minimal di dalam kota.
“Peluangnya sudah ada, karena secara perangkat sudah bisa, tantangannya terletak di operator untuk melakukan optimasi jaringan yang ada,” kata Ian.
Sekadar informasi, Speedtest Global Index melaporkan pada Desember 2023 kecepatan internet Indonesia berada diurutan ketiga terbawah di Asia Tenggara. Indonesia rata-rata kecepatan unduh (download) internet seluler Indonesia 24,96 megabits per second (Mbps), jauh berbeda dibandingkan dengan Singapura yang sebesar 93,42 Mbps.
Perbedaan yang signifikan ini salah satunya disebabkan oleh luas masing-masing negara yang juga berbeda.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Instiiute Heru Sutadi mengatakan untuk menjadi negara maju Indonesia harus memiliki kecepatan internet yang setara. Adapun kecepatan 100 Mbps merupakan hal yang wajar dan bisa dilakukan.
Dia juga menyarankan agar pemerintah Indonesia membuat peta jalan atau roadmap yang jelas, sehingga pemerintah dapat memprioritaskan teknologi dan tahapan yang ingin digapai terlebih dahulu.
“Soal teknologi, ini juga akan berhubungan pembangunan infrastruktur broadband nasional dari Switching center, interrnet exchange, backbone nasional, internasional backbone, backhaul hingga ke jaringan akses,” kata Heru.
Heru mengatakan tantangan dalam menerapkan kebijakan ini adalah biaya besar di sisi operator. Hal ini dapat diatasi lewat kolaborasi dengan sesama operator, penyedia jasa internet dan vendor.
Tantangan lainnya adalah menyiapkan SDM dan juga aplikasi lokal serta UMKM agar jaringan broadband super cepat ini bisa dimanfaatkan maksimal dengan biaya terjangkau.
“Kalau demand rural tinggi juga bisa dikerjakan lebih dahulu tanpa menunggu semua kota sudah bisa broadband 100 Mbps. Bahkan, tren di dunia kota itu sebenarnya sudah pada Giga City, sementara untuk household atau rumah tangga 100 Mbps,” kata Heru.
Sebelumnya, Federal Communications Commission (FCC) atau badan regulator telekomunikasi Amerika Serikat (AS) baru saja meningkatkan standar untuk kecepatan internet (broadband) di AS menjadi 100 Mbps. Revisi definisi broadband dilakukan di tengah kondisi layanan internet yang belum optimal di area rural.
Dengan definisi baru ini, maka pengertian broadband di AS hanya berlaku jika kecepatan internet yang diberikan untuk unduh menyentuh 100 Mbps dan kecepatan unggah sebesar 20 Mbps, empat kali lipat dari standar sebelumnya yang ditetapkan pada tahun 2015, yang sebesar 25 Mbps.