Bisnis.com, JAKARTA - Pada saat adu gagasan calon pemimpin Indonesia beberapa waktu lalu menyoal digitalisasi muncul beragam strategi dari para kandidat Pilpres 2024.
Ketiga pasangan calon sepakat untuk menekankan pentingnya digitalisasi untuk mendorong perekonomian agar berdaya saing dan inklusif. Bahkan pada saat debat kandidat Pilpres 2024, ada yang menawarkan program internet gratis. Namun, hal itu saja tidaklah cukup, perlu ada bauran kebijakan lintas sektor dan aktor untuk menciptakan ekosistem digital yang andal.
Ekonomi digital diharapkan menjadi lokomotif utama untuk mewujudkan mimpi Indonesia menjadi salah satu dari lima negara dengan perekonomian terbesar dan keluar dari middle income trap dengan sisa waktu kurang lebih 13 tahun lagi. Kontribusi ekonomi digital terhadap PDB tahun 2022 sebesar 5,1%, tahun 2025 diproyeksikan akan meningkat menjadi 20,7%.
Namun, di tengah ambisi besar tersebut, transformasi digital Indonesia yang sudah berjalan masih belum menggembirakan. Dalam Laporan World Digital Competitiveness Ranking (WDCR) 2023, Indonesia menempati peringkat ke-45, naik enam peringkat dibandingkan dengan 2022.
Akan tetapi, peringkat tersebut masih kalah dibandingkan dengan China, Malaysia dan Thailand yang masing-masing berada di peringkat 19, 33 dan 35.
Di samping itu, perkembangan digital di Indonesia belum merata di semua sektor usaha. Digitalisasi berkembang baru pada sisi layanan konsumen (consumer tech) perdagangan, pembayaran, dan distribusi. Sementara itu, di sisi produksi (hulu) seperti sektor manufaktur, pertanian dan UMKM yang memproduksi barang/jasa belum sepenuhnya menerapkan teknologi digital.
Sebagai perbandingan, tingkat maturitas digital sektor manufaktur yang tertuang dalam Visi Digital 2045 baru mencapai tahap awal (nascent). Sementara, sektor pertanian, perikanan, pariwisata serta transportasi & logistik masih berada di tahap perkembangan (emerging). Hanya sektor perdagangan & retail serta layanan keuangan sudah di tahap advanced.
Digitalisasi dalam hal layanan publik pun masih terbatas. Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dalam perkembangan e-government mayoritas masih pada aspek penyediaan informasi melalui internet dan berbagi data di perangkat lunak yang berbeda, sementara layanan masih minim. Kurang lebih terdapat 27.000 aplikasi tidak saling terintegrasi. Sebagian sudah tidak berfungsi dan sebagian tidak bisa lagi dimanfaatkan masyarakat. Sangat disayangkan terjadi pemborosan anggaran.
Dalam hal literasi digital juga masih terbilang rendah. Indonesia menempati posisi terakhir di bawah umumnya negara Asia Tenggara dalam penilaian indeks literasi digital.
Angkanya hanya 62% dari rata-rata 70% atau jauh di bawah Korea Selatan yang mencapai 97%. Pada survei per provinsi, literasi digital masyarakat Indonesia berada di kisaran poin 3,54 dari skala 1—5 dengan penilaian berdasarkan kecakapan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital (Kominfo, 2022).
Kualitas SDM menjadi tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan ekonomi digital. Beberapa Perusahaan kerap kali kesulitan menemukan talenta digital yang memenuhi kualifikasi di pasar tenaga kerja.
Jika talenta digital tidak segera disiapkan di tengah perkembangan teknologi dan kompetisi global yang semakin ketat, ini dapat menjadi penghambat utama pertumbuhan ekonomi di masa depan. SDM kunci untuk transformasi digital (Gede dkk., 2019).
Pertumbuhan ekonomi digital yang digadang-gadang mengantarkan Indonesia ke deretan negara maju, kenyataannya masih memerlukan waktu untuk dapat memberikan nilai tambah bagi produk dalam negeri. Manfaatnya belum dirasakan oleh semua kalangan.
INFRASTRUKTUR
Ketersediaan infrastruktur digital yang merata dan memadai merupakan prasyarat utama untuk akselerasi transformasi digital. Pelajaran penting yang dapat dipetik dari keberhasilan negara-negara yang mendapatkan benefit dari transformasi digital bahwa pemerintah menjalankan peran signifikan dalam penyediaan infrastruktur dan suprastrukturnya.
Penyusunan regulasi terkait pengembangan digital memang tidaklah mudah diformulasikan karena cepatnya perkembangan teknologi. Namun, hal ini dapat dimitigasi dengan lebih banyak melibatkan lintas aktor pemangku kepentingan dan sektor untuk diskusi publik dalam penyusunan regulasi.
Kita perlu belajar dari keluhan investor mengenai ketidakjelasan regulasi di negeri ini, juga perlu mendengar suara kelompok yang rentan termarjinalkan karena ketidakadilan kebijakan.
Di samping itu, perlu adanya kebijakan yang komprehensif untuk meningkatkan keterampilan digital. Hal ini dapat ditempuh melalui program pelatihan dan pendidikan kejuruan yang dalam penyelenggaraannya diperlukan kolaborasi yang solid antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta untuk merumuskan kurikulum peningkatan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat.
Satu hal yang tak kalah penting adalah bagaimana mendudukkan ideologi bangsa dan menjalankan amanat konstitusi dalam transformasi digital. Transformasi digital untuk menumbuhkan ekonomi harus didasarkan pada paradigma kesejahteraan sosial, sehingga manfaatnya dapat dirasakan semua lapisan masyarakat dan berkelanjutan.