Bisnis.com, JAKARTA – Negara-negara industri yang tergabung dalam Group of Seven atau G7 menyepakati penerapan kode etik pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Mengutip South China Morning Post, pemerintah negara-negara tersebut berupaya memitigasi risiko serta penyalahgunaan teknologi.
Kesepakatan dan implementasi kode etik secara suka rela ini bakal menjadi tonggak sejarah terkait dengan upaya serta cara bersama komunitas internasional dalam mengelola penggunaan AI.
“[Terutama] di tengah kekhawatiran terhadap perlindungan data pribadi dan risiko keamanan siber,” tulis South China Morning Post mengutip dokumen yang dipublikasikan Reuters, dan dikutip Bisnis.com pada Senin (30/10/2023).
Para pemimpin negara G7 yang terdiri atas Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Amerika Serikat (AS), serta Uni Eropa (UE), memulai proses tersebut pada Mei 2023 dalam forum tingkat menteri.
Adapun, 11 kode etik dalam kesepakatan itu bertujuan mempromosikan teknologi AI yang aman, terlindungi, terpercaya, serta dengan sukarela memberikan panduan mengenai perkembangan terbaru teknologi tersebut.
Kode etik ini mendesak perusahaan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, memitigasi risiko di seluruh siklus sistem AI, serta mengatasi insiden dan pola penyalahgunaan setelah produk dipasarkan.
Pada praktiknya, perusahaan wajib mempublikasikan laporan publik mengenai kemampuan, keterbatasan, penggunaan, penyalahgunaan sistem AI, serta berinvestasi dalam kontrol keamanan yang kuat.
UE berada di garis depan dalam mengatur teknologi baru ini dengan menerapkan undang-undang AI yang sangat ketat.
Sementara Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara di Asia Tenggara dinilai mengambil pendekatan yang tidak seketat UE.