Author

Irawady Azwar

Praktisi Hukum Konstruksi & Infrastruktur, Partner AHRP Law Firm

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Risiko Tol Nirsentuh Nirhenti di Indonesia

Irawady Azwar
Jumat, 9 Juni 2023 | 10:45 WIB
Jalan Tol JORR S - Hutama Karya
Jalan Tol JORR S - Hutama Karya
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Tertundanya uji coba proyek multi lane free flow (MLFF) memunculkan pertanyaan bagaimana kelanjutan realisasi program pemerintah tersebut.

Meskipun seharusnya belum terdapat kewajiban finansial dari pemerintah kepada PT Roatex Indonesia Toll System (RITS), molornya pelaksanaan uji coba MLFF tentunya akan disikapi pemerintah dengan mempertimbangkan ketentuan dalam perjanjian kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) antara pemerintah dan RITS.

Dalam praktik umum skema KPBU, perpanjangan setiap tahapan proyek dapat disetujui penanggung jawab proyek kerja sama apabila keterlambatan bukan disebabkan oleh kesalahan badan usaha pelaksana (BUP), misalnya karena keadaan kahar atau kebijakan pemerintah yang berdampak langsung terhadap proyek.

Skema KPBU umumnya mengalokasikan risiko konstruksi kepada BUP, sehingga konsekuensi keterlambatan penyelesaian konstruksi berikut apabila terdapat cost overrun, akan menjadi tanggung jawab BUP.

Namun, pemerintah juga memiliki kepentingan dalam memastikan program penyediaan layanan infrastruktur dapat terealisasikan sesuai target.

Sehingga apabila keterlambatan dimulainya operasi proyek terbukti diakibatkan oleh kesalahan BUP, konsekuensinya BUP dapat dikenakan denda keterlambatan. Hal ini tentunya sebagai pendekatan yang cukup fair untuk menghindari potensi adanya moral hazard dari BUP yang tidak serius untuk segera menyelesaikan setiap tahapan proyek KPBU yang sudah disepakati.

Penyelenggaraan sistem MLFF selanjutnya perlu memperhatikan alokasi risiko yang tepat sehubungan pengusahaan jalan tol.

Dalam perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) antara pemerintah dan badan usaha jalan tol (BUJT), collection risk dialokasikan kepada BUJT karena pengoperasian termasuk kegiatan pengumpulan tol menjadi tanggung jawab BUJT sehingga kerugian yang timbul akibat adanya kerusakan automatic lane barrier misalnya, akan ditanggung BUJT sepenuhnya.

Namun, jika nantinya sistem MLFF diselenggarakan oleh pemerintah bersama RITS, maka apakah berdasarkan PPJT tanggung jawab atas collection risk akan berpindah kepada pemerintah?

Prinsip alokasi risiko adalah mengalokasikan risiko pada pihak yang paling mampu mengelola dan menanggung risiko tersebut.

Pemerintah adalah pihak yang menunjuk dan berkontrak dengan RITS dalam penyediaan layanan MLFF. Posisi pemerintah dapat dianggap sebagai vendor terhadap BUJT terkait kegiatan pengumpulan tol hal mana terjustifikasi dengan adanya wacana kewajiban pembayaran layanan MLFF oleh BUJT kepada pemerintah.

Sehingga cukup beralasan jika dalam PPJT pemerintah akan menjadi pihak yang menanggung collection risk terhadap BUJT.

Apabila terjadi kegagalan sistem MLFF yang merugikan pendapatan tol BUJT, dapat diargumentasikan bahwa pemerintah akan menanggungnya terlepas ganti rugi tersebut akan secara back-to-back ditanggung oleh RITS.

Akan tetapi, konsep tersebut pada dasarnya tidak sejalan dengan praktik pengusahaan jalan tol saat ini di mana BUJT menanggung demand risk dan pengembalian investasi BUJT berasal dari pembayaran pengguna, sehingga BUJT berkepentingan untuk mengelola sistem pengumpulan tol guna memastikan bahwa pendapatan BUJT sesuai dengan volume dan jenis kendaraan pengguna.

Untuk itu, sejatinya akan lebih tepat jika BUJT sendiri yang merancang dan mengoperasikan alat pengumpulan tol berbasis nirsentuh nirhenti— sebagaimana sudah mulai dikembangkan oleh PT Jasa Marga (Pesero) Tbk. melalui Let it Flo. Berbeda halnya jika pengusahaan jalan tol dilakukan dengan pengembalian investasi melalui availability payment, di mana pemerintah menanggung demand risk, sehingga sistem pengumpulan tol akan lebih tepat dikelola oleh pemerintah.

Kontrak KPBU MLFF harus tetap dihormati. Namun, apabila demand risk serta collection risk tetap ditanggung oleh BUJT pada saat sistem MLFF diterapkan, sedangkan BUJT tidak lagi memiliki kendali atas kegiatan pengumpulan tol, maka hak BUJT untuk memperoleh pendapatan tol berdasarkan volume dan jenis kendaraan secara aktual seharusnya tetap dapat terjamin.

Lantas siapa dan bagaimana mekanisme untuk menjamin pendapatan tol BUJT tersebut? Pertanyaan ini perlu terjawab karena akan berpengaruh terhadap kepastian revenue stream BUJT yang bermuara pada kepastian pengembalian investasi pemegang saham BUJT serta pelaksanaan kewajiban BUJT kepada krediturnya.

BUJT juga perlu diberikan kesempatan menyetujui keberhasilan uji coba sistem MLFF guna mengantisipasi potensi kerugian akibat dari peristiwa yang terasosiasi dengan collection risks yang antara lain berasal dari unlawful road user, unlawful vehicle, interoperability issue, dan toll settlement failure.

Demi kelanjutan pelaksanaan proyek MLFF, para pemangku kepentingan perlu bersinergi untuk menyepakati mekanisme pelaksanaan proyek sesuai dengan prinsip alokasi risiko yang optimum.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan adanya suatu harmonisasi kepentingan BUJT dan RITS yang akan melahirkan kesepahaman mengenai parameter keberhasilan uji coba dan roadmap implementasi proyek MLFF selanjutnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Irawady Azwar
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper