Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat menilai lesunya startup di bursa saham dikarenakan harapan besar atas industri teknologi, sedangkan di sisi lain startup terbukti belum mampu menghasilkan keuntungan yang stabil.
Peneliti ekonomi digital Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyebut, lesunya saham startup setelah IPO diakibatkan oleh kehebohan yang berlebihan terkait dengan industri teknologi.
"Saya rasa memang pada awalnya ada hype teknologi yang melanda ke pasar saham, sehingga harga pada awal-awal akan ada kenaikan cukup tajam namun beberapa saat kemudian akan turun," ujarnya, Kamis (10/3/2022).
Menurut Hida, hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menimpa startup teknologi di beberapa negara lain. Namun demikian, startup teknologi di negara lain bergerak membaik dengan makin membaiknya kinerja perusahaan startup.
Dia menambahkan, kinerja startup di pasar saham dapat dipulihkan dengan meningkatkan kemampuan mendapatkan keuntungan.
Di sisi lain, Huda menjelaskan, startup Indonesia yang sudah IPO tidak mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan setelah IPO. "Selalu tertinggal [secara nilai GMV] dengan para pesaingnya yang notabene belum IPO," jelas Huda.
Selain itu, dia menjelaskan, beberapa startup yang melakukan IPO, belum dapat menghasilkan keuntungan yang stabil dan cenderung merugi.
Huda mengatakan, kondisi tersebut memperburuk kondisi harga saham para startup yang makin tenggelam. "Selain kinerja yang masih buruk, perusahaan tersebut memang cenderung mengincar dana masyarakat untuk menjadi modal usaha atau balik modal saja, tidak digunakan untuk mengembangkan usahanya," ujar Huda.
Menurutnya, hal itu tercermin ketika penawaran saham perdana, startup turut menyewa influencer untuk menarik dana masyarakat, bukan memberikan edukasi ataupun rencana-rencana kerja dari perusahaan startup tersebut.
Sementara itu, dua startup yang selama ini banyak dikenal di Indonesia, yaitu Bukalapak dan Grab, terbukti terseok di bursa saham setelah IPO beberapa waktu lalu.
Menurut pantauan Bisnis, BUKA mulai tercatat di BEI pada 6 Agustus 2021 dengan harga pelaksanaan Rp850 per saham. Perolehan dana IPO mencapai Rp21,9 triliun, terbesar sepanjang sejarah BEI. Sebelumnya, rekor tertinggi dipegang PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) yang meraih dana IPO senilai Rp12,25 triliun pada 2008 silam.
Namun, laju saham BUKA tidak semulus permintaan sahamnya saat IPO. Dalam 7 bulan perjalanannya di BEI, saham BUKA sempat mencapai level tertinggi Rp1.160, tetapi kemudian cenderung melemah hingga ke posisi terendah Rp276 per saham pada hari ini, Kamis (10/3/2022). Saham BUKA ditutup di level Rp284 per saham hari ini.
Adapun yang digadang-gadang akan segera menyusul Bukalapak, sudah melakukan pra-IPO. Pada 11 November 2021, Grup GoTo mengumumkan penutupan pertama penggalangan dana pra-IPO yang mencapai lebih dari Rp18,56 triliun (US$1,3 miliar).
Selain itu, menurut pantauan Bisnis, Jumat (4/3/2022) lalu, Grab Holdings Inc. harus rela kehilangan valuasinya senilai US$22 miliar sejak melantai di bursa Amerika Serikat melalui perusahaan akuisisi bertujuan khusus (Special Purpose Acquisition Company/SPAC).
Valuasi perusahaan teknologi Asia Tenggara tersebut tercatat merosot 63 persen sejak debutnya sehingga membuatnya masuk di deretan emiten dengan kinerja terburuk di Nasdaq Composite Index.
Kerugian Grab mencapai US$1,06 miliar pada kuartal IV/2021, atau melebihi konsensus pengamat senilai US$645 juta. Besarnya kerugian tersebut membuat investor berpaling dari Grab ke perusahaan lainnya.