Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diharapkan memperhatikan masalah manajemen risiko dan keamanan siber sebelum mengadopsi teknologi 5G ataupun 6G yang saat ini sudah mulai diuji coba di China.
Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengatakan seiring dengan kemajuan teknologi, tingkat risiko dan keamanan siber pun meningkat, bahkan juga banyak lahir modus-modus kejahatan baru.
"Sebenarnya dampaknya dari adopsi teknologi terkini sebenarnya sudah bisa dirasakan secara langsung dimulai pada saat kita adopsi teknologi 4G ke dalam ekosistem telekomunikasi kita, dimulai dari perilaku konsumen/pengguna dan tumbuhnya industri-industri baru seperti e-commerce, fintech dan lainnya," kata Ardi, Jumat (18/2/2022).
Namun menurut Ardi, edukasi atau literasi kepada user ini sebenarnya belum optimal. Selama ini hanya dianggap bisa berjalan dan tumbuh secara alamiah.
Padahal, lanjut dia, ada faktor yang tidak pernah diperhitungkan yaitu faktor manajemen resiko dan faktor keamanan siber.
"Contohnya banyak lahir modus-modus kejahatan baru yang kita dan aparat penegak hukum belum mampu untuk mengantisipasinya. Ini yang kita sebut sebagai mass undetected electronic crime dan ini baru disadari menjadi sebuah kasus kejahatan bila sudah ada korbannya yang dirugikan," ucapnya.
Terkait kehadiran teknologi 6G yang mulai diuji coba oleh China, Ardi menuturkan jelas akan ada resiko keamanannya. Namun bila bicara persaingan, dia tidak melihat akan terjadi di tatanan teknologi global.
Sebab, sambung dia, di Indonesia, infrastruktur telekomunikasi dari hulu ke hilir sudah dikuasai oleh 2-3 merek pabrikan teknologi yang juga merupakan pelaku utama global monopoli teknologi telekomunikasi.
"Permasalahannya adalah seberapa cepat para pelaku industri dan penguna teknologi tersebut memahami dan mampu beradaptasi dengan ekosistem teknologi terkini tersebut mengingat kemampuan kita didalam memahami hal tersebut sangat rendah terutama di tatanan user-nya," imbuh Ardi.