10 Fenomena Astronomi yang Akan Terjadi Sepanjang 2022

Mia Chitra Dinisari
Senin, 17 Januari 2022 | 08:04 WIB
Ilustrasi/BMKG
Ilustrasi/BMKG
Bagikan

2Bulan Purnama Super hingga Puncak Hujan Meteor Geminid

Selasa Malam, 14-15 Juni dan Rabu Malam, 13-14 Juli – Bulan Purnama Super

Bulan Purnama Super atau Bulan Purnama Perige adalah fase Bulan Purnama yang terjadi beriringan dengan ketika Bulan berada di titik terdekatnya dari Bumi atau disebut juga Perige. Bulan Purnama Super terjadi setiap tahunnya setidaknya satu kali dalam setahun. Puncak Bulan Purnama Super terjadi pada tanggal 14 Juni 2022 pukul 18.51.35 WIB / 19.51.35 WITA  / 20.51.35 WIT dengan jarak 357.658 km dan pada tanggal 14 Juli 2022 pukul 01.37.23 WIB / 02.37.23 WITA / 03.37.23 WIT dengan jarak 357.416 km. Bulan Purnama Super dapat disaksikan dari arah Tenggara hingga Barat Daya sebelum Matahari terbenam hingga setelah Matahari terbit.

Sabtu, 25 Juni – Okultasi Uranus oleh Bulan

Okultasi adalah peristiwa terhalangnya benda langit yang tampak lebih kecil oleh benda langit lain yang tampak lebih besar jika diamati dari Bumi (seperti Matahari dan Bulan). Hal ini dikarenakan konfigurasi ketiga benda langit membentuk garis lurus jika diamati dari pengamat tata surya. Selain itu, benda langit yang tampak lebih kecil sebenarnya berada jauh di belakang benda langit lain yang jaraknya lebih dekat dengan Bumi. Secara global, Uranus mengalami okultasi oleh Bulan pada tanggal 24 Juni sejak pukul 19.57 UT hingga 00.33 UT. Di Indonesia, Bulan berfase Sabit Akhir dengan iluminasi antara 15,3%-15,2% ketika mengokultasi Uranus. Sebagian wilayah Indonesia seperti Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, Sulawesi, Maluku Utara, dan Maluku mengalami Okultasi Uranus ketika fajar sebelum Matahari terbit, sedangkan propinsi Papua Barat dan Papua mengalami Okultasi Uranus ketika fajar sebelum Matahari terbit hingga setelah Matahari terbit. Selain itu, Uranus hanya dapat disaksikan menggunakan alat bantu.

Durasi okultasi terlama terjadi di kota Manokwari selama 1 jam 19 menit 32 detik (sejak pukul 05.23.54 WIT), sedangkan durasi okultasi tersingkat terjadi di kota Balikpapan selama 16 menit 47 detik (sejak pukul 04.30.58). Wilayah paling awal yang mengalami okultasi terjadi di kota Kupang pada pukul 04.05.59 WIB (selama 1 jam 8 menit 45 detik). Wilayah paling terlambat yang mengalami okultasi terjadi di kota Bontang pada pukul 04.36.57 WITA (selama 18 menit 0 detik). Secara umum, beberapa wilayah Indonesia yang mengalami Okultasi Venus dapat menyaksikan fenomena ini dari arah Timur hingga Tenggara. Fenomena ini pernah melewati Indonesia pada 15 Juli, 8 September 2006 dan 28 November 2006. Fenomena ini akan terjadi kembali pada 8 April, 5 Mei dan 29 Juni 2030.

Sabtu Malam, 13-14 Agustus – Puncak Hujan Meteor Perseid

Perseid adalah hujan meteor yang titik radiannya berasal dari konstelasi Perseus. Intensitas maksimum hujan meteor ini adalah sebesar 100 meteor/jam. Sehingga, dengan ketinggian maksimum titik radiant di Indonesia yang bervariasi antara 20,9° (Pulau Rote) hingga 37,8° (Sabang), intensitasnya berkurang menjadi 36 meteor/jam (Pulau Rote) hingga 61 meteor/jam (Sabang). Titik radian Perseid terbit dari arah Timur Laut antara pukul 23.00 malam sebelumnya (untuk Sabang atau yang selintang) hingga pukul 01.00 waktu setempat (untuk Pulau Rote atau yang selintang).

Perseid dapat disaksikan hingga 25 menit sebelum Matahari terbit ketika titik radiannya berkulminasi di arah Utara. Perseid bersumber dari sisa debu komet 109P/Swifts-Tuttle. Kecepatan meteor pada hujan meteor Perseid ini dapat mencapai 212.400 km/jam. Terdapat interferensi cahaya Bulan berfase Benjol Akhir yang terletak di dekat zenit saat titik radian Perseid terbit, sehingga dapat mengganggu pengamatan Perseid. Meskipun demikian, Perseid tetap dapat diamati tanpa alat bantu optik (kecuali jika ingin mengabadikannya dalam bentuk citra maupun video). Pastikan cuaca di tempat Sobat cerah, bebas dari penghalang di sekitar medan pandang, dan bebas dari polusi cahaya. Hal ini karena tutupan awan dan skala Bortle (skala kecerlangan langit malam) berbanding terbalik dengan intensitas meteor. Semakin besar tutupan awan dan skala Bortle, semakin berkurang intensitas meteornya.

Selasa, 8 November – Gerhana Bulan Total

Gerhana Bulan Total adalah fenomena astronomis ketika seluruh permukaan Bulan memasuki bayangan inti (umbra) Bumi. Hal ini disebabkan oleh konfigurasi antara Bulan, Bumi dan Matahari membentuk sebuah garis lurus. Selain itu, Bulan berada di dekat titik simpul orbit Bulan, yakni perpotongan antara ekliptika (bidang edar Bumi mengelilingi Matahari) dengan orbit Bulan. Gerhana Bulan Total terjadi pada fase Bulan Purnama, akan tetapi, tidak semua fase Bulan Purnama dapat mengalami Gerhana Bulan. Ini karena orbit Bulan yang miring 5,1° terhadap ekliptika dan waktu yang ditempuh Bulan untuk kembali ke simpul yang sama lebih pendek 2,2 hari dibandingkan dengan waktu yang ditempuh Bulan agar konfigurasinya dengan Bumi dan Matahari membentuk satu garis lurus. Oleh sebab itu, Bulan tidak selalu berada di bidang ekliptika ketika Purnama berlangsung.

Gerhana Bulan Total kali ini terjadi pada 8 November 2022 dengan durasi total selama 1 jam 24 menit 58 detik dan durasi umbral (sebagian + total) selama 3 jam 39 menit 50 detik.  Lebar gerhana bulan total kali ini sebesar 1,3589 dengan jarak pusat umbra ke pusat Bulan sebesar 0,2570. Gerhana ini termasuk ke dalam gerhana ke-20 dari 72 gerhana dalam Seri Saros 136 (1680-2960). Berikut ini waktu dan wilayah di Indonesia yang dapat teramati untuk setiap kontak gerhana:

Saat Bulan memasuki umbra, warna umbra cenderung hitam. Seiring Bulan seluruhnya berada di dalam umbra, warna Bulan akan menjadi kemerahan. Ini disebabkan oleh mekanisme hamburan Rayleigh yang terjadi pada atmosfer Bumi. Hamburan Rayleigh yang terjadi ketika gerhana Bulan sama seperti mekanisme ketika Matahari maupun Bulan tampak berwarna kemerahan saat berada di ufuk rendah dan langit yang mempunyai rona jingga ketika Matahari terbit maupun terbenam. Spektrum dengan panjang gelombang lebih pendek seperti ungu, biru dan hijau dihamburkan ke angkasa lepas, sedangkan spektrum dengan panjang gelombang lebih panjang seperti merah, jingga dan kuning diteruskan ke pengamat. Selain itu, saat gerhana, tidak ada cahaya Matahari yang dapat dipantulkan oleh Bulan sebagaimana ketika fase Bulan Purnama. Gerhana dapat berwarna menjadi lebih kecokelatan bahkan hitam pekat jika partikel seperti debu vulkanik ikut menghamburkan cahaya. Dampak dari Gerhana Bulan Total bagi kehidupan manusia adalah pasang naik air laut yang lebih tinggi dibandingkan dengan hari-hari biasanya ketika tidak terjadi gerhana, Purnama maupun Bulan Baru.

Gerhana Bulan Total yang dapat teramati di Indonesia untuk satu dekade berikutnya akan terjadi pada 8 September 2025, 3 Maret 2026, Malam Tahun Baru 2029, 21 Desember 2029, 25 April 2032 dan 18 Oktober 2032.

Rabu Malam, 14-15 Desember – Puncak Hujan Meteor Geminid

Geminid adalah hujan meteor yang titik radiantnya berasal dari konstelasi Gemini. Intensitas maksimum hujan meteor ini sebesar 120 meteor/jam. Sehingga, dengan ketinggian maksimum titik radian di Indonesia yang bervariasi antara 46° (Pulau Rote) hingga 63° (Sabang), intensitasnya berkurang menjadi 86 meteor/jam (Pulau Rote) hingga 107 meteor/jam (Sabang). Geminid dapat disaksikan dari arah Timur Laut hingga Barat Laut sejak pukul 20.30 waktu setempat hingga 25 menit sebelum Matahari terbit. Geminid bersumber dari sisa debu asteroid 3200 Phaethon. Kelajuan meteor pada Geminid dapat mencapai 126.000 km/jam. Terdapat interferensi cahaya Bulan berfase Benjol Akhir yang terbit di arah Timur Laut saat titik radian Geminid berada di ketinggian 30° di arah yang sama, sehingga dapat mengganggu pengamatan Geminid. Meskipun demikian, Geminid tetap dapat diamati tanpa alat bantu optik (kecuali jika ingin mengabadikannya dalam bentuk citra maupun video). Pastikan cuaca di tempat Sobat cerah, bebas dari penghalang di sekitar medan pandang, dan bebas dari polusi cahaya. Hal ini karena tutupan awan dan skala Bortle (skala kecerlangan langit malam) berbanding terbalik dengan intensitas meteor. Semakin besar tutupan awan dan skala Bortle, semakin berkurang intensitas meteornya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper