Bisnis.com, JAKARTA – Model bisnis social commerce dipandang lebih sesuai digunakan untuk merambah kota-kota kecil dengan sasaran konsumen akar rumput.
Peneliti ekonomi digital Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyebut perbedaan mendasar e-commerce dan social commerce terdapat dalam fokus produk dan pelayanan pembeliannya.
"Social commerce lebih banyak menyediakan barang kebutuhan sehari-hari [FMCG] dan bisa membentuk kelompok pembelian dengan menggunakan platform social media," ujar Huda saat dihubungi secara daring, Selasa (2/11/2021).
Menurut Huda model bisnis social commerce mirip seperti kemitraan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan ke toko kelontong. Biasanya kemitraan tersebut dalam bentuk reseller ataupun agen perorangan yang dapat membentuk sebuah kelompok belanja.
Huda mengatakan model bisnis seperti itu dianggap lebih cocok di kalangan akar rumput. Hal tersebut dikarenakan konsumen berasal dari lingkungan terdekat penjual.
Menurut Huda, investor melirik social commerce tersebut karena berpotensi melibatkan warga sekitar. Tetapi, e-commerce dipandang akan tetap lebih besar dibandingkan social commerce karena penetrasi pasarnya telah terbentuk sejak lama.
Huda menyebut proyeksi ke depan model social commerce akan dilirik oleh e-commerce besar dalam bentuk kemitraan dengan pedagang.
"Sudah mulai banyak juga mitra Bukalapak, Shopee, Tokopedia yang sudah exist. Begitu juga dengan Gojek dengan program GoShop-nya," ungkapnya.
Huda pun memperkirakan ke depan akan banyak perusahaan teknologi yang merambah sektor tersebut. Kolaborasi juga diperkirakan akan terjadi dengan penyedia platform social media. Tetapi, Huda berpandangan kolaborasi lebih condong ke arah e-commerce atau perusahaan digital turunannya.
Bagi Huda, social commerce perlu strategi memperbesar jaringan di lapangan untuk bisa menyaingi e-commerce. Selain itu perbanyak konsumen akhir dan fokus di kota-kota kecil yang potensial