Hoaks dan Kebocoran Data Masih Marak, Literasi Digital Pemerintah Belum Optimal

Leo Dwi Jatmiko
Minggu, 15 Agustus 2021 | 15:31 WIB
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi/Istimewa
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi/Istimewa
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Rangkaian program literasi digital yang digenjot pemerintah dinilai belum membuahkan hasil. Maraknya hoaks yang tersebar dan kebocoran data menjadi indikator beberapa indikator belum optimalnya literasi digital.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa untuk mengukur program literasi digital yang digalakkan pemerintah dapat dilihat dari intensitas hoaks yang terjadi. Jika hoaks menurun, maka literasi digital cukup berhasil. Sayangnya, hoaks masih banyak beredar.

Tidak hanya itu, kata Heru, literasi digital seharusnya juga mendorong perekonomian masyarakat. Para pengguna internet harus bisa mendapat konten edukasi, kesehatan dan hal lainnya yang bersifat produktif dan kreatif.

“Kalau dari ini kita lihat literasi digital masih jauh panggang dari api alias gagal. Apalagi ada suara minor literasi digital hanya menghasilkan buzzerRP,” kata Heru, dikutip Minggu (15/8/2021).

Akibat literasi digital yang saat ini digalakkan tidak berhasil, Heru mengusulkan agar konsep, strategi, dan agen literasi digital yang selama ini dipakai dirombak total. Pasalnya, dana besar yang dikeluarkan selama ini, tidak sebanding dengan hasilnya.

Menurutnya, pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam mempercepat transformasi digital menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Dari sisi infrastruktur telekomunikasi, masih ada 12.548 desa yang belum mendapatkan layanan internet cepat.

“Ini harus dipercepat. Harusnya kan ini selesai pada 2018 atau periode pertama Presiden Joko Widodo yang bahkan 2020 dinyatakan Indonesia akan Merdeka Sinyal, tetapi itu tidak tercapai dan molor hingga beberapa tahun ke depan,” kata Heru.

Kemudian, sambungnya, dari sisi keamanan data di era siber atau digital juga menjadi tantangan. Pada isu ini, Heru menilai, tidak ada perkembangan kerja yang positif dari pemerintah. Pasalnya, kebocoran data masih terjadi dengan ujung kasusnya menguap begitu saja.

“Sudah nilainya minus, dalam pembahasan rancangan undang-undang perlindungan data pribadi (PDP) juga masih ingin mengambil kewenangan PDP yang sebaiknya dikerjakan oleh otoritas independen,” kata Heru.

Seperti diketahui, pada akhir Juli 2021, akun @UnderTheBreach memposting penjualan data 2 juta nasabah BRI Life seharga US$7000 atau sekitar Rp110 juta.

Dalam postingan tersebut juga ditampilkan sebuah video berdurasi 30 menit menampilkan besaran data hingga 250 Gb yang berisi data sensitif masyarakat, seperti rincian rekening bank, salinan kartu tanda penduduk (KTP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Sebelum BRI Life, dugaan kebocoran data juga terjadi di BPJS Kesehatan. Sebanyak 279 juta data penduduk Indonesia diduga bocor dan diperjual-belikan dalam sebuah web gelap.

Data yang dijual mencakup nomor KTP, gaji, nomor telepon, alamat dan email, bahkan data orang yang sudah meninggal juga terdapat di dalamnya. Dalam forum itu disebutkan bahwa satu juta data sebagai contoh dapat diakses secara gratis dan tanpa kata sandi khusus.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Lili Sunardi
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper