Ini Alasan Perusahaan Ogah Gunakan Komputasi Awan

Leo Dwi Jatmiko
Kamis, 13 Mei 2021 | 13:06 WIB
Komputasi awan/Istimewa
Komputasi awan/Istimewa
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Saat pandemi Covid-19 belum menyerang, perusahaan-perusahaan malas menggunakan layanan komputasi awan dan beralih ke digital. Pandemi Covid-19 datang, transformasi digital jadi keharusan agar bisnis tetap berjalan. Sayangnya masih banyak juga perusahaan yang belum percaya diri untuk menggunakan teknologi ‘awan’.

CEO NTT Ltd. untuk Indonesia Hendra Lesmana menjelaskan berdasarkan pengalaman NTT dalam menangani klien, salah satu alasan perusahaan belum berani loncat menggunakan komputasi awan karena masalah keamanan.

Meski penyedia layanan komputasi awan telah memiliki sertifikasi keamanan data segudang, namun perusahaan yang hendak menggunakan komputasi awan belum punya sertifikasi. Alhasil, sebelum masuk menggunakan komputasi awan mereka harus mengambil sertifikasi dahulu, proses ini butuh waktu yang tidak singkat.

“Analoginya seperti berkendara. Kendaraannya sudah tersertifikasi, tetapi apakah pengemudinya juga sudah? Kalau kendaraannya aman, pengendaranya tidak jadi sama saja,” kata Hendra, Rabu (12/5/2021).

Untuk mengatasi masalah tersebut tanpa memakan waktu lama, kata Hendra, biasanya perusahaan mencari mitra berpengalaman sebelum beralih menggunakan layanan komputasi awan.

Mitra berpengalaman akan menuntun perusahaan untuk menerapkan kerangka kerja dan desain yang benar dalam implementasi komputasi awan, agar proses peralihan berjalan mulus dan aman.

“Kami memiliki punya pengalaman, jadi tahu kerangka kerja yang benar dan desain yang baik seperti apa,” kata Hendra.

Isu mengenai keamanan data menjadi isu penting ketika perusahaan ingin beralih ke digital. Data-data perusahaan yang penting tentu harus dijaga, karena itu menyangkut bisnis perusahaan dan data pelanggan perusahaan tersebut.

Laporan Global Threat Intelligence Report 2020 menyebutkan industri yang bergerak di bidang Teknologi rentan diserang datanya oleh peretas. Jika peretas sudah mendapatakan data, maka data tersebut akan dijual di pasar gelap atau digunakan untuk kegiatan lain dengan kerugian yang tak terhitung.

Dalam laporan tersebut disebutkan, industri teknologi, manukfaktur dan transportasi menjadi tiga industri di Jepang yang paling sering mendapata serangan siber. Masing-masing mengantongi persentase yaitu 29 persen, 25 persen dan 13 persen.

Para peretas melakukan serangan berupa website aplikasi (36 persen), spesifik aplikasi (23 persen) dan serangan brutal (brute forcing) untuk menguras data perusahaan. Selain Jepang, negara-negara di Asia Pasifik yang banyak ditemui serangan siber adalah Singapura, Hongkong dan Australia.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper