Author

Marsudi Wahyu Kisworo

Komisaris Independen PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk

Lihat artikel saya lainnya

Menjadikan 5G Andal dan Efisien

Marsudi Wahyu Kisworo
Jumat, 23 April 2021 | 12:29 WIB
Seorang wanita mengoperasikan ponselnya di dekat logo teknologi 5G./REUTERS-Sergio Perez
Seorang wanita mengoperasikan ponselnya di dekat logo teknologi 5G./REUTERS-Sergio Perez
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Konvergensi teknologi telekomunikasi dan digital sejak 30 tahun lalu telah melahirkan internet bergerak (mobile internet) yang diawali dengan istilah 1G atau generasi pertama. Pada era 3G, selain sinyal telekomunikasi sudah lebih baik.

Mobile internet mampu mengirim data berupa konten multimedia dengan lebih cepat dari sebelumnya. Di masa 4G saat ini, daya akses mobile internet semakin kencang. Mobile internet dan teknologi telah menjadi salah satu faktor disrupsi penyebab perubahan peta dunia usaha.

Sayangnya, ternyata teknologi 4G dianggap masih belum mumpuni mendukung berbagai aplikasi dan terobosan inovasi terbaru saat ini meski memiliki kecepatan cukup baik. Tingginya latensi (jeda antara saat sinyal kirim dengan tanggapan terhadap sinyal tersebut) telah menjadi masalah besar bagi aplikasi-aplikasi waktu nyata (real time).

Hanya 5G yang dianggap bisa mengaktifkan internet taktil dengan latensi singkat dan umpan balik instan. Dalam 5 tahun terakhir, porsi ekonomi digital berkembang pesat, seiring kemunculan perusahaan unicorn dan decacorn di Indonesia. Meski begitu, digitalisasi ekonomi Indonesia belum merata.

Saat ini baru 86,8% desa yang terjangkau 4G dengan kualitas jaringan bervariasi. Lebih dari 13.000 desa belum dapat menikmati layanan 4G. Kondisi lebih buruk terjadi pada layanan internet pita lebar (broadband) untuk rumah yang baru bisa melayani 15% pangsa pasar atau kurang dari 10 juta rumah tangga. Kondisi lanskap lapangan yang menyulitkan dan mahalnya pendistribusian kabel serat optik ke rumah-rumah menjadi alasan utama.

5G diyakini menjadi jawaban untuk semua permasalahan itu sekaligus bisa mendorong peningkatan penetrasi broadband ke rumah-rumah. Kecepatan 5G yang sangat tinggi—bisa mencapai 100 kali lebih cepat dari 4G—akan sangat mendukung usaha meningkatkan konektivitas rumahan, baik pada layanan mobile internet maupun broadband. Berbagai aplikasi bisa dijalankan seperti otomasi rumah, virtual reality, dan smart city.

Sejumlah negara maju seperti China, Korea Selatan, Amerika Serikat, Jepang, Spanyol, dan beberapa negara lain yang telah menggelar jaringan 5G pun mendapatkan dampak peningkatan ekonomi yang signifikan.

Namun, implementasi 5G yang tergolong baru ini bukan berarti tanpa kendala. Jaringan 5G memerlukan alokasi spektrum frekuensi cukup lebar. Saat ini ketersediaan spektrum frekuensi rendah sangat terbatas, karena banyak digunakan operator seluler dan satelit. Hanya spektrum frekuensi tinggi yang banyak tersedia, khususnya di gelombang milimeter.

Spektrum ini memiliki kelemahan soal keterbatasan jarak dan memerlukan koneksi pemancar dalam jarak sangat rapat, sehingga biaya investasi maupun operasionalnya mahal sekali. Bisa diatasi dengan pembangunan rekayasa jaringan yang mengkombinasikan jaringan seluler sebagai penyalur akhir dan jaringan serat optik selaku tulang punggung.

Kombinasi tersebut dianggap sebagai cara paling masuk akal untuk meningkatkan jangakauan dan cakupan 5G ke pengguna rumahan dengan cepat. Peningkatan penetrasi ini dianggap perlu karena akan berdampak langsung terhadap peningkatan ekonomi secara signifikan.

Setiap 10% peningkatan cakupan akses terhadap internet akan berdampak pada kenaikan 0,9%—1% produk domestik bruto (PDB). Bagi dunia usaha online maupun industri digital, selain mendukung moda bekerja dari mana saja, jaringan 5G dengan latensi mendekati nol bakal mendukung otomasi yang masif.

Akan tetapi masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sahat Hutajulu dan rekan-rekannya dalam penelitian berjudul Two Scenarios for 5G Deployment in Indonesia menemukan beberapa hal. Pertama, pemerintah perlu menetapkan regulasi terhadap pemakaian frekuensi radio untuk keperluan 5G ini.

Jaringan 5G memerlukan lebar pita cukup besar tetapi sudah digunakan sejumlah pihak untuk keperluan yang tidak terkait dengan 5G. Supaya optimal, pemerintah harus melakukan penataan lebih cermat. Sebaiknya dibagikan kepada sedikit operator saja, sehingga alokasi frekuensinya menjadi lebih ideal dan bisa lebih optimal pemanfaatannya.

Dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memungkinkan adanya penggunaan infrastruktur secara bersama-sama (infrastructure sharing) dalam bidang telekomunikasi. Melalui infrastructure sharing, frekuensi 5G bisa dibagi kepada dua atau tiga operator dengan syarat bisa digunakan bersama.

Kedua, para operator dan penyedia teknologi perlu mengembangkan contoh penggunaan jaringan 5G yang spesifik sesuai dengan kondisi objektif Indonesia. Pengembangan contoh penggunaan yang sesuai akan membantu mendorong suksesnya komersialisasi 5G, sehingga juga menjamin keberlangsungan operator.

Bagi penyedia teknologi, menjalin kemitraan strategis jangka panjang dengan operator sangat diperlukan mengingat investasi 5G ini sangat mahal. Melalui kemitraan strategis dengan penyedia teknologi, operator dapat merampingkan biaya, sehingga bisa menyediakan jaringan 5G bagi pelanggan di Indonesia dengan harga terjangkau.

Jika semua ini terpenuhi, maka upaya meningkatkan konektivitas melalui jaringan 5G sudah di depan mata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper