Bisnis.com, JAKARTA – Penggunaan dompet digital dinilai mampu menjadi stimulus untuk mengerek kinerja perekonomian pada kuartal IV/2020 dengan melakukan konsumsi melalui transaksi non tunai dan belanja daring.
Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang mengatakan bahwa penggunaan dompet digital makin erat dengan pola konsumsi masyarakat sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan persentase kinerja perekonomian yang tumbuh negatif di kuartal III/2020
“Sebenarnya dompet digital adalah barang pengganti dari dompet konvensional atau kartu debit, platform ini memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk tetap bisa berkonsumsi, khususnya konsumsi via daring,” katanya saat dihubungi Bisnis, Jumat (6/11/2020).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa kuartal IV/2020 akan menjadi momentum untuk melakukan penetrasi yang lebih mendalam dan masif ke masyarakat bagi dompet digital dengan strategi umum seperti promo, diskon, poin, atau layanan lainnya.
Dianta pun memprediksikan bahwa pertumbuhan dompet digital pada kuartal IV/2020 mampu mencapai angka 20 persen dibandingkan kuartal III/2020. Kemudian, untuk kontribusinya terhadap kinerja perekonomian pada akhir 2020 paling tinggi hanya mampu di angka 10 persen.
Survei perusahaan riset asal Prancis, Ipsos dalam laporannya per 4 November 2020 menunjukkan bahwa masyarakat makin dekat dengan penggunaan dompet digital.
Adapun, dalam laporan tersebut pengguna lebih nyaman dengan platform ShopeePay dan disusul GoPay, serta OVO selama tiga bulan terakhir. Selain karena banyaknya promosi, konsumen menilai dompet digital mudah digunakan.
Ketua Umum Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga mengatakan bahwa jika mengacu pada laporan BI, transaksi dompet digital ini mengalami peningkatan dan diprediksi akan meningkat sebesar 17 kali pada 2023.
Penggunaan dompet digital pun sesuai dengan kondisi saat pandemi ini yang menuntut minimnya interaksi dalam bertransaksi.
“Nah, persaingan sengit merebut pangsa pasar antara perusahaan e-wallet ini menghasilkan banyak sekali promosi dan cashback. Perang diskon ini dapat mengaburkan pemahaman hemat dan ditengarai bisa mengakibatkan perilaku konsumtif,” katanya.
Dia mengatakan bahwa perilaku yang konsumtif tidak selamanya buruk. Peningkatan konsumsi mampu menumbuhkan ekonomi karena meningkatnya permintaan mendorong proses produksi yang berujung pada bertambahnya lapangan kerja.
“Dengan demikian, konsumen akan juga terangkat daya belinya hingga mampu membeli dan membuat roda ekonomi berputar lebih cepat. Pada Harbolnas 2019, menurut Nielsen Indonesia, berhasil mencatatkan transaksi sebesar Rp9,1 triliun. Harapannya tentu tahun ini akan juga bisa mencetak hasil yang memuaskan,” ujarnya.