Bisnis.com, JAKARTA – Ragam dampak yang akan diberikan Undang-Undang Cipta Kerja yang baru saja disahkan tidak akan hadir dalam waktu dekat pada ekosistem bisnis perusahaan rintisan (startup)
Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang menilai bahwa UU Cipta Kerja memberikan dua dampak pada iklim startup yang akan terasa pada semester II/2021.
“Saya rasa UU Cipta Kerja belum bisa memberikan bisa menjadi stimulus buat kuartal IV/2020 ini. Karena semua masih menunggu aturan teknisnya dibawahnya,” katanya saat dihubungi Bisnis, Senin, (19/10/2020).
Adapun dampak yang dimaksudkan adalah dari sisi investasi kepada perusahaan rintisan dan perlindungan pekerja di sektor perusahaan rintisan masih sangat terbatas dan rentan terkena pemutusan hubungan kerja.
Menurutnya, salah satu poin yang dibahas pada UU Cipta Kerja adanya insentif perpajakan, yaitu tax holiday dan tax allowance yang makin disempurnakan. Dia mengatakan bahwa perusahaan rintisan tentunya membutuhkan tax holiday yang cukup panjang lantaran banyak startup yang masih merugi.
“Saat ini memang dibutuhkan sebuah ekosistem dan regulasi yang mendukung startup. Terutama startup lokal,” ujarnya.
Managing Partner Ideosource VC dan Gayo Capital, Edward Ismawan Wihardja sepakat bahwa dua insentif tersebut bisa menjadi proses mitigasi cepat terutama dari sisi kepastian dan percepatan perizinan. Pasalnya dia menilai masih regulasi yang tumpang tindih antar instansi sehingga banyak proses dan acuan yang mengulang atau bertentangan.
Dia menjelaskan bahwa salah satu isu terbesar startup adalah aturan pajak yang membuat investor dan pemegang saham akhir membayarkan pajak secara badan dan juga secara individu.
“UU Cipta Kerja ini dibuat agar perpajakan yang double tersebut tidak terjadi terutama dalam penerimaan dividen. Keputusan ini sangat penting dan menjanjikan karena tujuan investor melakukan investasi adalah untuk mendapatkan keuntungan,” ujarnya.
Menurut catatan Bisnis, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P Roeslani menilai pendanaan kepada perusahaan rintisan dari investor tetap menjanjikan di masa UU Cipta Kerja.
"Saya melihat prospek startup di Indonesia masih baik dan positif, apalagi sekarang dengan adanya Omnibus Law yang lebih memberikan banyak insentif baik kepada investor domestik maupun asing untuk berinvestasi," ujarnya.
Menurut Rosan, insentif-insentif seperti tax holiday dan tax allowance yang makin disempurnakan dan pasar Indonesia yang sangat besar, serta ditunjang infrastruktur digital besar akan membuat pendanaan startup dari investor tetap menjanjikan.
Namun, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira tidak sepakat bahwa insentif pajak menjadi urgensi yang dibutuhkan ekosistem startup untuk menarik minat investor untuk melakukan pendanaan ke tanah Air.
“[Insentif] tidak jadi pertimbangan investor di startup, karena beberapa startup beberapa tahun ke belakang masih mengalami kerugian, otomatis mereka tidak perlu membayar pajak sehingga insentif pajak tidak menjadi pertimbangan,” katanya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa investor melakukan pendanaan dengan menilai ekosistem startup di sebuah negara. Menurutnya, UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) justru menjadi jawaban dibandingkan UU Cipta Kerja.
“Startup dan investor lebih butuh akan perlindungan data pribadi, karena bagaimana masyarakat mau percaya dengan platform digital di tanah air, sedangkan serangan siber terus meningkat. UU perlindungan data pribadi memberikan kepastian hukum dan menciptakan ekosistem yang lebih sehat,” ujarnya.
Selanjutnya, Bhima juga mengatakan bahwa akses dan infrastruktur internet yang merata dan stabil juga lebih urgensi dibandingkan UU tersebut. Kemudian, dia juga menilai bahwa pelatihan talenta digital juga menjadi kebutuhan yang mendesak.