RUU Omnibus Law Ibarat Pisau Bermata Dua Bagi Telkom

Leo Dwi Jatmiko
Rabu, 16 September 2020 | 15:36 WIB
Pendar cahaya dari lampu gedung Telkom Landmark Tower, kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan./tlt.co.id
Pendar cahaya dari lampu gedung Telkom Landmark Tower, kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan./tlt.co.id
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Larangan diskriminatif dalam penyewaan infrastruktur telekomunikasi pasif yang tertuang pada klaster telekomunikasi di Rancangan Undang-Undang Omnibuslaw, dinilai seperti pisau bermata dua.

Di satu sisi, berpotensi memberi sumber pendapatan baru bagi PT Telekomunikasi Indonesia (persero) Tbk. dari operator lainnya dan di sisi lain berpeluang memangkas pendapatan Telkomsel karena kehilangan ‘kue’.  

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai bahwa dengan kebijakan larangan diskriminatif penyewaan jaringan infrastruktur pasif, seharusnya membawa berkah bagi Telkom.

Dia mengatakan bahwa Telkom berpeluang untuk mendapat tambahan pendapatan dari operator telekomunikasi lain yang tidak terafiliasi dengan Telkom Grup.

Sekadar catatan, pendapatan Telkom pada semester I/2020 mengalami penurunan sebesar 3,6 persen secara tahunan dari Rp69,34 triliun pada semester 1/2019 menjadi Rp66,85 triliun. Meski demikian dari sisi EBITDA, Telkom mengalami pertumbuhan sebesar 8,9 persen secara tahunan dari Rp33,12 triliun menjadi Rp36,07 triliun.

Dari total tersebut, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) tercatat berkontribusi sebesar 65,81 persen atau setara dengan Rp44 triliun terhadap total pendapatan yang dibukukan oleh induk. Sementara sisanya berasal bisnis Telkom lainnya.

“Harusnya Telkom Group senang dengan kebijakan ini agar infrastruktur mereka juga bisa dimanfaatkan bersama dan mendapat pendapatan tambahan,” kata Heru kepada Bisnis, Rabu (16/9).

Meski demikian, sambung Heru, sebagai perusahaan telekomunikasi dengan jaringan terluas Telkom juga dapat bersikap bertahan untuk tidak berbagi jaringan guna mempertahankan dominasinya di industri telekomunikasi.

Menurutnya dengan menyewakan jaringan pasif yang dimilikinya kepada operator lain, maka pendapatan Telkom Grup – misalnya, melalui Telkomsel -- berpeluang untuk tergerus karena terdapat beberapa operator yang bermain di kawasan yang sama.

“Itu yang dikhawatirkan, sehingga kalau belajar dari kejadian pada masa lalu, akan memasukkan ketentuan bahwa berbagi infrastruktur menjadi tidak wajib,” kata Heru.

Heru tidak setuju dengan asumsi yang menyebut bahwa di dalam satu daerah Universal Service Obligation (USO) sebaiknya hanya terdapat satu operator seluler agar jaringan merata dan tidak terjadi persaingan.

Menurutnya skema tersebut berpotensi melanggar aturan UU No.5/1999 mengenai larangan pembagian wilayah pemasaran. Di samping itu, konsumen di daerah USO memiliki hak untuk memilih operator yang sesuai dalam hal tarif dan kualitas

“Kompetisi secara sehat tetap perlu, termasuk tarif. Kalau diatur khawatir nanti ada potensi kartel,” kata Heru.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper