Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Riset Siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) menyatakan bahwa aliran data TikTok secara umum tidak ada yang mencurigakan.
Pernyataan ini dirilis untuk menjawab keresahan masyarakat dengan berbagai isu miring terkait aplikasi media sosial berbasis video dari China ini.
Chairman Lembaga Riset Siber CISSReC, Pratama Persadha mengatakan bahwa tuduhan terhadap TikTok memang cukup serius, tidak hanya sebatas mengumpulkan data di aplikasinya, tetapi juga dicurigai ada aliran data pengguna ke China.
Dia pun menyampaikan pihaknya melakukan riset dan analisis terhadap aplikasi Tiktok tersebut. Menurutnya, aliran data TikTok secara umum tidak ada yang mencurigakan.
Contohnya, pada alamat ip 161.117.197.194 yang menuju Singapura, lalu 152.199.39.42 menuju Amerika Serikat (AS). Bahkan, saat dites dengan malware analysis yang menggunakan sample dari 58 vendor antivirus, malware juga tidak ditemukan
“Saat kami coba cek dengan malware analysis, tidak ada aktivitas mencurigakan saat menginstal TikTok, tidak ada malware yang bersembunyi. Bila memang mengandung malware, sebenarnya bukan hanya AS yang akan melarang TikTok, tapi Google akan menghapus TikTok dari playstore mereka. Tapi hal ini juga tidak dilakukan Google,” ujarnya lewat rilisnya, Sabtu, (25/7).
Pria asal Cepu Jawa Tengah ini juga menyampaikan bahwa di Eropa yang dilakukan mereka adalah pengawasan data, karena fenomena tersebut menjadi perhatian serius bagi masyarakat dunia, berbagai tuduhan bahwa TikTok digunakan sebagai spionase.
“Yang paling masuk akal dilakukan adalah, para pejabat penting dan lingkarannya jangan bermain TikTok, bila memang khawatir. Bila masyarakat mau memakai sebenarnya tidak ada masalah. Namun bila memang ada kebutuhan para pejabat serta politisi untuk branding diri atau lembaga, sebaiknya menggunakan gawai yang berbeda dari gawai yang sehari-hari digunakan,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa TikTok seperti platform internet lainnya tetap menyimpan dan mengolah data pengguna. Hal inilah yang dicurigai oleh AS dan Eropa, kekhawatiran data pengguna serta aplikasi TikTok digunakan untuk mata-mata.
“Tetapi kalau dulu kita ingat ada aplikasi game pokemon, ternyata tuduhannya sebagai aplikasi mata-mata juga tidak terbukti. Malah isu-isu besar seperti ini sebenarnya mungkin dimanfaatkan menjadi sarana promosi gratis aplikasi-aplikasi tersebut,” terangnya.
“Sebenarnya layanan Facebook, Google, Instagram dan semacamnya juga melakukan berbagai pengumpulan data. Misalnya dalam kasus Cambridge Analytica, data pengguna Facebook dipotimasi untuk membuat Donald Trump dan kubu Brexit di Inggris menang dalam pemilihan,” tambahnya.
Pratama menyarankan bahwa untuk mengatur pengamanan pengaturan privasi pengguna di masing- masing gawai lewat permission di tiap aplikasi. Permission adalah permintaan dari aplikasi untuk kebutuhan aplikasi, yang muncul dengan sederet keterangan, meminta akses kamera, mikropon, telepon, log dan lainnya.
Sebagai informasi, masyarakat dunia dan netizen Indonesia yang sedang gandrung bermain TikTok cukup resah dengan berbagai isu miring terkait aplikasi media sosial berbasis video dari China ini. TikTok seperti halnya Huawei juga ikut terseret dalam perang dagang serta urat syaraf AS-China, dituduh menjadi alat spionase pemerintah China.
Tiktok menarik perhatian sudah sejak lama, bahkan Mark Zuckerberg menyatakan TikTok bisa melewati Instagram. Nyatanya Tiktok dua tahun terakhir memang berhasil mengalahkan Instagram dengan total lebih dari 625 juta unduhan.