Bisnis.com, JAKARTA—Mimpi manusia untuk pergi ke Mars memang bukanlah barang baru. Bahkan, NASA sudah menjadwalkan peluncuran rover ke Mars pada 30 Juli 2020 pada misi penjelajah Perseverance.
Pada misi itu, kendaraan rover robot akan mencari untuk bukti astrobiologis dari kehidupan mikroba purba, Ketekunan akan mengumpulkan sampel batuan dan tanah di sana untuk kembali ke Bumi di masa depan. Ini juga akan menjadi ciri iklim dan geologi planet dan membuka jalan bagi eksplorasi manusia di Planet Merah atau yang juga disebut sebagai planet surga itu.
Pertanyaannya, sudah siapkah manusia menjadi spesies multiplanet (multiplanetary species)? Sebuah diskusi pada Disrupto Fest 2020 yang digelar secara virtual pada Jumat (17/7/2020), mengulas persoalan tersebut.
Diskusi yang dipandu oleh David Irianto dan menghadirkan dua orang narasumber. Kedua narasumber tersebut yaitu Sharlini Eriza Putri, Co-Founder dan CEO Nusantics dan Venzha Christ, orang Indonesia pertama yang ikut Pelatihan Hidup di Mars oleh NASA.
Venzha menceritakan, sewaktu menjalani simulasi hidup di Mars, yang paling susah adalah protokol. Protokol tersebut, lanjutnya, sangat ketat misalnya tidak boleh kehabisan oksigen. Seseorang harus bisa menghitung kapan oksigen habis dan kapan waktunya mengganti oksigen. Selain itu, juga ada pelatihan bagaimana mereka bisa mendapatkan air, menanam tumbuhan dengan cepat dan bisa dimakan.
Namun, berkaitan misi manusia ke Mars, dia mengaku termasuk pihak yang berseberangan jika Mars dijadikan koloni. Bahkan, lanjutnya, di kalangan ilmuwan sendiri juga masih ada sejumlah perdebatan terkait hal ini.
“Saya termasuk yang nggak setuju,” katanya dalam diskusi virtual Disrupto Fest 2020, Jumat (17/7/2020).
Dia menilai Mars tidak cocok untuk dihuni baik dari sisi situasi, atmosfer dll. Belum lagi radiasi (solar energetic particles/SEP) di Mars yang sangat tinggi. Namun, lanjutnya, mengapa Mars menjadi trending adalah persoalan kedekatan. Mars, paling dekat dengan Bumi.
Venzha yang juga founder House of Natural Fiber Yogyakarta dan Indonesia Space Science Society menilai Mars lebih cocok dijadikan sebagai laboratorium. Menurutnya, salah satu bulan milik Jupiter justru lebih cocok untuk dihuni manusia daripada Mars. Namun, teknologi untuk menuju ke sana, hingga saat ini belum tersedia.
“Misal ekspansi ke Mars, saya setuju untuk dijadikan sebagai labolatorium. Jupiter punya bulan yang banyak dan lebih layak daripada Mars. Tapi teknologinya belum ada untuk sampai ke sana,” ujarnya.
Sementara itu, Sharlini mengungkapkan pentingnya manusia menyadari bahwa manusia itu tidak 100% manusia, tetapi juga memiliki mikrobiologi pada tubuhnya. Dia mengungkapkan sel manusia hanya sekitar 50% dan sisanya merupakan mikrobiologi termasuk bakteri dan virus.
Oleh karena itu, terkait multiplanetary species, dia mengungkapkan jika perubahan genetika itu tergantung. Apakah manusianya yang disesuaikan untuk tinggal di lingkungan yang ekstrem atau sebaliknya.
“Kalau misalnya [manusianya] beradaptasi, maka ya modifikasi genetik ya dengan perkembangan teknologi. Cuma ini pertanyaannya, ini etikanya dimana,” katanya.
Di sisi lain, terkait penjelajahan luar angkasa, dia menilai bahwa manusia silakan untuk menggunakan teknologi setinggi-tinggi untuk menjelajah ruang angkasa. Namun, perlu dilihat juga bahwa planet baru yang akan dihuni itu juga harus dijaga.
Diskusi yang berlangsung kurang lebih 45 menit itu juga interaktif dengan adanya pertanyaan dari audiensi. Salah satu yang mengajukan pertanyaan adalah Heikal Muhammad. Dia bertanya apakah ada cara tertentu untuk buang air atau mandinya.
Venzha menjawab bahwa selama pelatihan yang ia dapatkan, jika seseorang makan makanan yang sama, dengan jumlah yang sama, maka kotoran yang dikeluarkan tidak terlalu banyak. Itupun, kotoran tidak dibuang, melainkan disimpan.
Di sisi lain, bulan Juli ini, diskusi terkait Mars memang menjadi bahasan yang menarik. Pasalnya,ada sejumlah misi yang dijadwalkan menuju Planet Merah itu. Kendati, Uni Emirat Arab (UEA) yang rencananya meluncurkan misi perdananya ke Mars pada 15 Juli 2020, ditunda hingga tahun depan.
China dan NASA juga menjadwalkan misi ke Mars pada bulan ini.
Ketiganya berencana meluncurkan rover atau pesawat luar angkasa ke Mars. NASA memang sudah lima kali menirimkan penjelajah ke Mars. Namun, ini pertama kali bagi China dan UEA. Rusia dan badan antariksa eropa (European Space Agency/ESA) juga memiliki rencana untuk meluncurkan misi ke Mars pada tahun ini, tetapi terpaksa ditunda karena pandemi Covid-19.
Bulan Juli ini merupakan titik terdekat antara Bumi dan Mars. Bila tidak bisa meluncurkan pada bulan ini, maka peneliti harus bersabar hingga terbuka lagi kesempatan lainnya hingga 2022.
Pada Sabtu 11 Juli 2020, NASA telah mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan Perseverance Rover ke Mars dari Cape Canaveral, Florida AS. Rencananya, setelah perjalanan 7 bulan ke Planet Merah, rover akan mendarat di Kawah Jezero, sebuah danau kuno dengan geologi yang menarik.
Pada 9 Juli 2020, NASA juga mengumumkan bahwa Perseverance Rover Mars saat ini telah melekat pada bagian atas roket Atlas V besutan Alliance. NASA dan Alliance memperbarui jendela peluncuran dari sebelumnya 17 Juli hingga 30 Juli, kini jmenjadi 30 Juli hingga 15 Agustus. Rencannya, rover tersebut akan mendarat di Kawah Jezero pada 18 Februari 2021.