Bisnis.com, JAKARTA – Di balik perkembangan pesat dunia financial technology (fintech) tersimpan risiko besar terjadinya kejahatan. Misalnya penggunaan identitas palsu untuk meminjam uang ke fintech.
Ruang bagi pendanaan digital atau fintek memang kian luas. Merujuk pada data yang dirilis oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK) per September 2019, akumulasi penyaluran pinjaman P2P lending mencapai Rp 60,40 triliun.
Angka penyaluran ini naik 166,51 persen secara year to date (ytd) dibandingkan Desember 2018 yang sebesar Rp 22,66 triliun.
Chief Operating Officer and Co-founder Advance.AI. Dong Shou mengatakan bahwa penggunaan KTP sebagai syarat pinjaman dana dari fintech memiliki risiko untuk dipalsukan. Nomor Induk Kependudukan (NIK) dapat diubah dengan mudah.
Apalagi jika perusahaan fintech yang memberi pinjaman tidak bisa mengakses data kependudukan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
Dong Shou menyebut bahwa satu-satunya cara identitas yang tak dapat diganti adalah pengenalan wajah menggunakan artificial intelligence (AI). Pengenalan wajah, dapat mencegah risiko identitas palsu, hingga tunggakan pembayaran pinjaman.
Metodologi pengenalan wajah, hanya satu cara untuk mencegah penipuan yang dapat dialami fintech. Metode lainnya adalah melakukan penilaian berdasarkan latar belakang masyarakat yang ingin meminjam dana. Cara ini adalah, metode lama yang dilakukan oleh bank konvensional, atau perusahaan simpan-pinjam.
“Bedanya bank tradisional melakukan interview atau mengecek gaji dan lain-lain untuk mendapatkan pinjaman,” kata Dong Shou kepada Bisnis usai menjadi pembicara di konvensi ketiga Wild Digital Indonesia di Sheraton Grand Gandaria City, Jakarta, Selasa (26/11).
Namun, Dong Shou meyakini jika dimanfaatkan dengan baik, fintech di Indonesia, mampu mendorong ekonomi makro di Indonesia. Tidak sekadar menjadi sarana mendapatkan pinjaman ringan.
Seperti halnya bisnis perbankan, fintech juga dapat merambah pendanaan pada bidang industri lain. Dia mencontohkan, salah satu perusahaan fintech di China, fokus memberikan modal pinjaman usaha kepada perempuan yang tidak memiliki pekerjaan.
Nah, cara ini dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan fintech di Indonesia. Bidang yang menurutnya paling menjanjikan adalah pertanian. Pasalnya, selama ini menurutnya, adalah profesi yang paling sulit untuk mendapatkan pinjaman dari bank karena tidak memiliki pemasukan tetap.
“Petani sangat memungkinkan untuk mendapatkan bantuan pendanaan untuk meningkatkan usahanya. Ini proyek yang sedang perusahaan kami lakukan bersama dengan fintech di Indonesia, untuk memberikan bantuan pendanaan kepada petani. Karena saya meyakini, membantu petani mendapatkan bantuan pinjaman dana, akan ikut meningkatkan kesejahteraannya,” kata Dong.
Menurutnya, dengan improvisasi yang luas kepada bisnis pendanaan berbasis teknologi ini, fintech juga bisa merambah pada segmentasi business to business (B2B). Walaupun, saat ini klien yang ditangani perusahaannya mayoritas adalah perusahaan fintech, yang bergerak pada segmentasi business to consumer (B2C).
“Saya rasa, ada beberapa perusahaan fintech di Indonesia yang sudah cukup besar mengerjakan hal ini (B2B) dengan cukup baik. Artinya, itu sangat baik untuk ekonomi. Dan ini sangat baik untuk ekonomi di Indonesia. Tapi hal ini juga menjadi tantangan kepada kami untuk bisa mengikuti perkembangan pasar,” jelas dia.
Pemerintah dan otoritas secara eksplisit, telah mendukung fintech di Indonesia. Seperti menyeimbangkan antara mitigasi risiko dan membukan ruang inovasi. Serta, perlu adanya pemahaman terhadap lansekap, ekosistem dan dinamika industri. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan pengetahuan, agar inklusi keuangan melalui fintech justru lebih dalam dibandingkan perbankan. Agar potensi inovasi layanan keuangan berbasis teknologi ini kian optimal.