Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara terlihat tengah bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris dengan Sophia di atas sebuah panggung yang disaksikan audiens.
Penampilan lawan bicara menteri yang akrab disapa chief itu cukup menarik perhatian. Berkepala pelontos, Sophia terlihat unik dibalut gaun merah rancangan desainer kenamaan Didiet Maulana
“Sophia, apakah robot akan menggantikan manusia?,” tanya Menkominfo.
Terdapat jeda setiap Sophia tampak memproses seluruh pertanyaan yang diajukan Rudiantara. Namun, seluruh pertanyaan menteri yang diajukan pada akhirnya mampu dia jawab.
“Di masa depan, robot akan banyak membantu pekerjaan manusia menjadi lebih efisien, tetapi robot ada bukan untuk menggantikan manusia. Manusia dan robot dapat berkolaborasi dan hidup berdampingan,” jawab Sophia yang disambut tepuk tangan hadirin.
Sophia adalah robot dengan teknologi kecerdasan buatan berumur 3,5 tahun hasil pengembangan perusahaan teknologi asal Hong Kong Hanson Robotics. Dia menjadi tamu spesial dalam diskusi panel bertajuk Youth Dialogue: Who Wants to Be Friends With AI? yang diselenggarakan pada 16—17 September 2019.
Dalam diskusi tersebut, Sophia menunjukkan kecerdasannya dalam menjawab pertanyaan Menkominfo yang sebelumnya telah dipersiapkan dan dicatat oleh tim. Meski demikian, Sophia juga dapat menjawab sejumlah pertanyaan spontan penonton yang maju ke depan panggung.
Pertanyaan yang dapat dijawab Sophia kebanyakan adalah pertanyaan yang lugas dan disampaikan dalam kalimat pendek. Sementara untuk beberapa pertanyaan penonton yang disampaikan dalam kalimat panjang, Sophia kerap mengatakan “saya tidak mengerti”.
Rudiantara menilai, kecerdasan buatan merupakan salah satu teknologi yang semakin populer digunakan dalam era revolusi industri 4.0. Meski demikian, dia menegaskan tujuan teknologi tersebut bukanlah untuk menggantikan tenaga kerja manusia.
“Bagaimanapun manusia tidak bisa dikalahkan oleh AI [Artificial Intelligence]. Namun beberapa fungsi akan kita dorong menggunakan AI. Contoh sederhana, cs [customer service] di pemerintahan kita dorong pakai AI,”ungkapnya.
Dia menilai, perkembangan teknologi seperti AI, machine learning, memang tak bisa dibendung. Menurutnya, kehadiran robot cerdas seperti Sophia telah menjadi kemajuan luar biasa dalam dunia Teknologi dan Informasi.
Dalam konteks lebih luas, dia menyatakan AI berpotensi untuk mengerjakan pekerjaan yang repetitif seperti seperti customer service dengan chatbot, face recognition, analisis video. Bahkan, dia memproyeksikan AI juga dapat dimanfaatkan untuk proyek pembangunan 1 juta rumah dengan teknologi 3D printing. Meski demikian, beberapa industri seperti pariwisata yang identik dengan keramahtamahan, dianggapnya belum cocok mengadopsi teknologi ini.
“Nanti kan pertanyaannya tukang bangunannya kerja apa kalau pakai 3D Printing? Jawabannya, mereka dapat dilatih untuk menjadi operator 3D Printing itu sehingga keterampilannya bertambah,” ujarnya.
Berdasarkan studi Microsoft dan IDC Indonesia tentang adopsi AI di negara kawasan Asia Pasifik (APAC) berjudul Future Ready Business: Asessing Asia Pasific’s Growth Potential Through AI, hanya 14% dari seluruh perusahaan di Indonesia yang sudah benar-benar mengimplementasikan AI.
Sikap skeptis dari pekerja dan pelaku usaha disebut menjadi kendala utama keberhasilan adopsi AI di Tanah Air. Meski demikian, sebanyak 51% perusahaan dalam negeri berencana mengadopsi teknologi AI dalam kurun waktu 2 hingga 3 tahun mendatang.
Managing Partner GK Plug and Play Indonesia Wesley Harjono menyatakan kehadiran Sophia diharapkan menjadi pengingat sekaligus inspirasi, jika kecerdasan buatan tengah berkembang sedemikian pesat, memasuki keseharian manusia.
Kehadiran teknologi tersebut, ujarnya, memang berpotensi menggantikan beberapa pekerjaan yang ada saat ini. Namun, di lain sisi, juga dapat memunculkan banyak kesempatan bagi pelaku usaha untuk mengeksplorasi hal baru dan berinovasi menciptakan peluang kerja baru.
“Ide kita mendatangkan Sophia adalah untuk menujukkan sejauh mana perkembangan teknologi ini dan bagaimana seharusnya memaknai perubahan teknologi. Tingkat adopsi AI memang masih rendah karena masih disalahartikan akan membuat banyak pengangguran,” ujarnya.
Dia menyatakan, saat ini banyak bermunculan perusahaan rintisan yang menawarkan solusi berbasis AI. Dalam portfolionya, dari sekitar 50 perusahaan rintisan, sekitar 10 hingga 15 di antaranya merupakan perusahaan rintisan AI.
Penggunaan AI di Indonesia yang cukup populer di antaranya merupakan chatbot, dan telah lazim digunakan di berbagai platform dagang-el sebagai layanan pelanggan. Selain itu, juga pemindai wajah dan analisis video.
Menurutnya, peluang pengembangan AI dalam tiga-lima tahun ke depan masih sangat luas. Dalam bidang teknologi kesehatan, misalnya, teknologi AI dapat digunakan untuk menganalisis penyakit pasien dengan pemindai wajah. Selain itu, teknologi ini juga dapat digunakan untuk mengoptimalkan supply chain dan pengaturan lalu lintas.
“Memang belum banyak perusahaan konvensional yang mengadopsi AI, karena korporasi pasti ada hitung-hitungan ketika mengadopsi teknologi. Tetapi beberapa di antaranya telah memiliki visi untuk mengadopsi AI dalam jangka panjang,” ujarnya.
Co-Founder dan CEO Bahasa.ai Hokiman Kurniawan meyakini teknologi AI akan semakin banyak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, teknologi ini dapat memudahkan masyarakat generasi X atau baby boomers dalam menggunakan berbagai aplikasi sehingga dapat menjadi digital savvy seperti halnya generasi milenial.
“Ke depannya AI akan terus berkembang, karena pasarnya tumbuh secara eksponensial. Terlebih dengan banyaknya startup yang berusaha mengimplementasikan teknologi ini,” ujarnya.
Dia menilai, semakin banyaknya pemain di bidang AI akan membuat teknologi ini menjadi makin canggih. Tak terbatas pada algoritma untuk menyusun rekomendasi, pemindaian wajah, percakapan dengan chatbot, tetapi lebih jauh juga berkembang ke ranah eksternal data dan agregasi data.