Bisnis.com, JAKARTA -- Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik yang membebaskan penempatan data sektor publik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia dinilai berpotensi mengganggu kedaulatan digital nasional, sehingga aturan tersebut ditolak oleh beberapa pihak.
Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, mengatakan adanya kesempatan penempatan data di luar wilayah Indonesia memiliki potensi gangguan dan mendesak pemerintah membatalkan Revisi PP No 82 Tahun 2012.
"Bahaya jika negara memberi kesempatan data bisa ditempatkan di luar negeri, meskipun itu data swasta. Saya mendesak Pemerintah membatalkan Revisi PP No 82 tahun 2012 tentang PSTE ini," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (17/9/2019).
Dia menjelaskan, potensi gangguan kedaulatan digital dengan disimpannya data sektor publik di luar wilayah Indonesia cukup masuk akal karena dapat dilakukan profiling, analisis, serta pemetaan perilaku masyarakat di suatu negara melalui data terkait.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dia berharap kewajiban penempatan data di dalam negeri seperti yang diatur di PP No. 82/2012 tetap diterapkan karena dinilai memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional melalui pemasukan pajak serta peluang tenaga kerja.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Alex Budiyanto, menyayangkan isi revisi PP No. 82/2012 yang membebaskan data sektor privat dapat disimpan di dalam atau pun di luar negeri, karena banyak pemangku kepentingan yang dinilai tidak dilibatkan dalam proses pembahasannya.
Menurut Alex, pemerintah dinilai terburu-buru dalam menyelesaikan aturan tersebut karena sejauh ini tidak ada hal yang mengharuskan revisi PP PSTE untuk segera disahkan.
Adapun, dia menilai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 yang saat ini berlaku di mana data elektronik wajib disimpan di dalam negeri sudah cukup baik.
Dia menambahkan, hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah membuat aturan turunan, seperti misalnya peraturan menteri untuk memperkuat implkementasi aturan yang lama tersebut.
"Salah satu hal yang harus diperjelas adalah dampak hukum bagi penyelenggara sistem elektronik yang melanggar aturan di PP 82/2012," ujarnya kepada Bisnis.com, baru-baru ini.
Dengan demikian, lanjut Alex, pemerintah tidak merevisi PP 82/2012 yang tidak mengklasifikasikan data sehingga seluruh data, baik besar atau pun kecil, wajib disimpan di wilayah teritorial Indonesia.
Selain itu, dengan adanya klasifikasi penyelenggara sistem elektronik lingkup publik dan penyelenggara sistem elektronik lingkup privat justru akan memunculkan kebingungan baru. Pasalnya, definisi data publik dinilai bisa saja berbeda-beda di setiap kementerian/lembaga.
Ketua Umum Masyarakat Telematika (Mastel) Indonesia, Kristiono, menambahkan upaya merelaksasi kebijakan oleh pemerintah dengan membebaskan penempatan data dinilai tidak sejalan dengan pidato Presiden Joko Widodo di DPR RI pada 16 Agustus 2019 yang memosisikan data sebagai the new oil.
Menurut Kristiono, apabila data tetap wajib disimpan di dalam negeri, maka perlindungan, pengolahan, serta pengkapitalisasian data untuk kepentingan nasional menjadi semakin mudah.
Sementara itu, kepastian mengenai penyelesaian aturan tersebut kembali dipertanyakan.
Sesuai dengan tenggat waktu yang disampaikan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Semuel Abrijani Pengerapan, beberapa waktu lalu, Revisi PP 82/2012 yang telah diedarkan ke beberapa kementerian terkait akan ditinjau kembali oleh Kemenkominfo pada 16 September 2019 lalu.
Namun, ketika ditemui pada 17 September 2019, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, mengatakan dirinya belum mengetahui perkembangan dari revisi PP 82/2012.