Revisi PP PSTE: Data Sektor Swasta Boleh Ditempatkan di Luar Negeri

Rahmad Fauzan
Senin, 9 September 2019 | 07:03 WIB
Ilustrasi data center/Flickr
Ilustrasi data center/Flickr
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -- Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik, yang rencananya disahkan pada 16 September 2019, bakal mengatur penyelenggara sistem elektronik lingkup privat disebutkan dapat menempatkan sistem elektronik dan data elektronik di dalam atau di luar wilayah Indonesia.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Semuel Abrijani Pengerapan, mengatakan terdapat 2 pambaruan yang dilakukan pemerintah.

Pertama, hanya data milik penyelenggara sistem elektronik lingkup publik yang diwajibkan berada di Indonesia. Sementara itu, untuk penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat menempatkan sistem elektronik dan data elektronik di dalam atau di luar wilayah Indonesia.

Ketika dimintai komfirmasi ulang oleh Bisnis, Minggu (8/9/2019), Plt. Kepala Biro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu, menjelaskan data sektor publik merupakan data yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta berasal dari instansi yang menggunakan pelayanan publik, termasuk perusahaan pelat merah.

Sementara itu, data sektor privat adalah data yang meliputi transaksi elektronik antar-pelaku usaha; antara pelaku usaha dengan konsumen; antarpribadi; antar-Instansi; dan antara Instansi dengan pelaku usaha.

Kedua, di dalam revisi aturan tersebut perusahaan multinasional berbasis sistem elektronik seperti Google dan Facebook diwajibkan mendaftarkan diri sebagai penyelenggara sistem elektronik di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut didorong untuk lebih aktif dalam menjaga keamanan konten yang dipublikasikan.

Pada saat dihubungi Bisnis.comLead Communication Facebook Indonesia, Putri Dewanti, mengatakan pihak Facebook belum memiliki tanggapan terkait dengan perihal kewajiban mendaftarkan diri sebagai penyelenggara sistem elektronik di Indonesia seperti diatur di dalam revisi PP No. 82/2012.

"Kami belum ada tanggapan mengenai hal ini," ujar Putri, Minggu (8/9/2019).

Pemerintah juga berencana memberikan sanksi berupa denda kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran, di mana setiap perusahaan berpotensi dikenakan denda maksimal Rp100 miliar per pelanggaran.

"Nanti pasti ada sosialisasi setelah aturan ditandatangani, karena ada waktu 2 tahun untuk melakukan penyesuaian sebelum aturan diberlakukan. Setelah revisi aturan disahkan pekerjaan akan lebih banyak karena ada beberapa Peraturan Menteri yang mesti kita buat. Substansinya sudah ada," ujar Semuel akhir pekan lalu.

Sementara itu, terkait dengan tidak adanya kewajiban bagi penyelenggara sistem elektronik untuk menempatkan data di dalam wilayah Indonesia, hal tersebut tidak dinilai tidak akan berpengaruh karena perusahaan dinilai tidak lagi perlu menempatkan datanya di luar negeri.

Pasalnya, lanjut Semuel, pemerintah juga tengah membangun ekosistem pusat data yang ditandai dengan masuknya beberapa penyedia jasa teknologi komputasi awan global ke Indonesia untuk membangun zona ketersediaan (availability zone).

"Intinya pemerintah ingin membangun ekosistem supaya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia bisa lebih cepat. Jadi, tidak perlu lagi menaruh di luar negeri," jelas Semuel.

Sejauh ini, beberapa perusahaan penyedia teknologi komputasi awan, seperti Alibaba Cloud sudah mengoperasikan pangkalan data di 2 lokasi di Indonesia. Sementara Amazon Web Service (AWS) sudah mengumumkan bakal membuka pangkalan data di Indonesia pada 2022. Dan yang terbaru adalah Google Cloud, perusahaan tersebut akan membangun zona ketersediaan di Tanah Air pada semester I/2020.

Adapun, berdasarkan penelitian Boston Conseulting Group berjudul Dampak Ekonomi Cloud di Asia Pasifik untuk Indonesia, diperkirakan bahwa penerapan komputasi awan publik dapat berkontribusi sebesar US$35 -- US$40 miliar untuk Produk Domestik Bruto (PDB) secara kumulatif dari 2019 hingga 2023, atau setara dengan kurang lebih 0,6% PDB tahunan negara.

Lebih dari 85% dari total dampak ekonomi tersebut akan dihasilkan oleh bisnis digital native dan perusahaan rintisan yang dinilai menjadi pendorong utama pngadopsian komputasi awan publik di Indonesia.

Temuan-temuan tersebut juga mengindikasikan bahwa efisiensi dan pertumbuhan bisnis yang dihasilkan dari penerapan komputasi awan publik berpotensi memngaruhi hingga 350.000 lapangan kerja baru selama periode 2019--2023.

Diperkirakan, sebanyak 7% dari angka tersebut akan berada di bidang yang terkait dengan digital dan teknologi, seperti data scientist, manajer produk, tenaga ahli, pekerjaan terkait dengan pengalaman pengguna dan manajemen infrastruktur di penyedia layanan komputasi awan, penyedia layanan IT, dan berbagai pasar vertikal.

Selanjutnya, sebesar 13% akan terkait dengan fungsi bisnis inti pemasaran, keuangan, operasional di banyak pasar vertikal. Sementara itu, sebanyak 80% sisanya akan muncul sebagai konsekuensi dari pertumbuhan bisnis inti di beragam pasar vertikal.

Pada kesempatan berbeda, Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Alex Budiyanto, menyayangkan isi revisi PP No. 82/2012 yang membebaskan data sektor privat dapat disimpan di dalam atau pun di luar negeri, karena banyak pemangku kepentingan yang dinilai tidak dilibatkan dalam proses pembahasannya.

Menurut Alex, pemerintah dinilai terburu-buru dalam menyelesaikan aturan tersebut karena sejauh ini tidak ada hal yang mengharuskan revisi PP PSTE untuk segera disahkan.

Adapun, dia menilai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 yang saat ini berlaku di mana data elektronik wajib disimpan di dalam negeri sudah cukup baik.

Dia menambahkan, hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah membuat aturan turunan, seperti misalnya peraturan menteri untuk memperkuat implkementasi aturan yang lama tersebut.

"Salah satu hal yang harus diperjelas adalah dampak hukum bagi penyelenggara sistem elektronik yang melanggar aturan di PP 82/2012," ujarnya kepada Bisnis.com, baru-baru ini.

Dengan demikian, lanjut Alex, pemerintah tidak merevisi PP 82/2012 yang tidak mengklasifikasikan data sehingga seluruh data, baik besar atau pun kecil, wajib disimpan di wilayah teritorial Indonesia.

Selain itu, dengan adanya klasifikasi penyelenggara sistem elektronik lingkup publik dan penyelenggara sistem elektronik lingkup privat justru akan memunculkan kebingungan baru. Pasalnya, definisi data publik dinilai bisa saja berbeda-beda di setiap kementerian/lembaga.

Ketua Umum Masyarakat Telematika (Mastel) Indonesia, Kristiono, menambahkan upaya merelaksasi kebijakan oleh pemerintah dengan membebaskan penempatan data dinilai tidak sejalan dengan pidato Presiden Joko Widodo di DPR RI pada 16 Agustus 2019 yang memosisikan data sebagai the new oil.

Menurut Kristiono, apabila data tetap wajib disimpan di dalam negeri, maka perlindungan, pengolahan, serta pengkapitalisasian data untuk kepentingan nasional menjadi semakin mudah.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum idEA, Ignatius Untung, justru menilai apabila semua penyimpanan data dipaksakan di dalam negeri, maka akan banyak perusahaan yang mengalami kesulitan, terutama perusahaan-perusahaan asing yang menjual layanannya di Tanah Air.

"Pasalnya, kalau setiap perusahaan asing wajib menaruh data di lokal, biaya investasi yang harus mereka keluarkan jauh lebih besar," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (8/9/2019).

Sementara itu, Ignatius menilai perusahaan dagang-el tidak terlalu terpengaruh dengan diwajibkannya penyimpanan data di wilayah teritorial Indonesia, meskipun di sisi lain perusahaan terkait juga menyimpan data di luar negeri untuk pencadangan data.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rahmad Fauzan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper