Bisnis.com, JAKARTA -- Pernyataan Ketua Umum Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Agung Suprio, bahwa lembaga akan melakukan pengawasan terhadap berbagai platform internet dan layanan over the top (OTT) mendapatkan bantahan dari salah satu komisioner badan yang berdiri sejak 2002 tersebut.
Salah satu komisoner KPI, yakni Hardly Stefano, mengatatakan pernyataan Agung Suprio belum pernah dilakukan pembahasan dalam rapat pleno anggota KPI.
"Statement Agung Suprio yang memunculkan wacana tersebut di ruang publik, adalah statement personal yang terburu-buru, prematur dan pada akhirnya menimbulkan kegaduhan, karena belum pernah dibahas dan diputuskan dalam forum resmi KPI, yaitu rapat pleno anggota KPI," ujarnya, Senin (12/8/2019).
Pengawasan terhadap konten melalui berbagai platform di internet, ujar Hardly, adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi untuk melakukan hal tersebut diperlukan pembahasan serius dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, serta meliputi berbagai hal tentang siapa atau lembaga apa yang akan mengawasi, dasar hukum pengawasan, serta desain pengawasan.
Sembari pembahasan tersebut dilakukan, KPI dikatakan tidak boleh mengabaikan tugas dan fungsi utamanya sebagai wujud peran serta masyarakat dalam pengawasan penyiaran televisi dan radio.
"Sangat disayangkan, bahwa sampai saat ini Agung Suprio selaku Ketua KPI yang baru, belum membuat jadwal rapat pleno, yang salah satu agendanya adalah melakukan pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap program siaran yang dinilai melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS)," imbuhnya.
Dia melanjutkan, sampai dengan satu pekan setelah Agung memunculkan wacana pengawasan konten internet tersebut, belum terlihat dan dapat dijelaskan oleh yang bersangkutan tentang desain dan metode pengawasan KPI secara komprehensif.
"Sehingga tidak heran, jika kemudian muncul tudingan bahwa wacana ini merupakan strategi pansos atau panjat sosial dengan mengejar popularitas semata," imbuhnya.
Selain itu, Hardly menyayangkan bahwa Agung 'terlihat kurang beretika' dalam melontarkan wacana pengawasan tersebut karena menyebutkan brand atau merk, yaitu Youtube dan Netflix, alih-alih melakukan kategorisasi layanan OTT apa saja yang akan diawasi.
Agung dinilai mencampurkan penjelasan tanpa melakukan kategorisasi platform OTT, sehingga dianggap oleh Hardly menunjukkan ketidakpahaman terhadap substansi yang akan diawasi.
Sebelumnya, Agung menyatakan KPI segera mengupayakan aturan yang nantinya menjadi dasar hukum untuk pengawasan konten digital.
Pengawasan dilakukan agar konten-konten yang berada di media digital layak tonton serta memiliki nilai edukasi, juga menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah.
Perlunya pengawasan media YouTube, Netflix, Facebook atau media sejenis juga karena pertimbangan sebagian besar masyarakat sudah beralih dari media konvensional televisi dan radio.
Selain itu, Agung mengatakan KPI mengupayakan aturan pengawasan media digital agar bisa dimasukkan ke dalam revisi undang-undang penyiaran, dan DPR bisa segera merevisinya.
Seperti diketahui, salah satu yang diamanatkan kepada KPI oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, adalah revisi Undang-Undang Penyiaran untuk mendukung proses digitalisasi.
Namun, terkait dengan pengawasan paltform internet dan layanan OTT, Kemenkominfo juga sudah mengingatkan, KPI tak mempunyai wewenang untuk melakukan hal tersebut, karena belum adanya aturan yang mengatur soal tugas KPI mengawasi konten di dunia maya.