Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI) angkat bicara mengenai hadirnya operator Arab Saudi (Zain) yang berjualan di sejumlah embakarsi Jemaah haji, ATSI meminta pemerintah turun tangan dalam menangani permasalahan ini.
Dalam surat yang diterima oleh Bisnis Indonesia, disebutkan bahwa Zain berpotensi melakukan beberapa pelanggaran seperti pasal 1 butir 12 Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Keabsahan surat tersebut, telah dibenarkan oleh Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys.
"Iya [dari ATSI] kan ada tanda tangan Ketua Umum," kata Merza kepada Bisnis.com, Senin (22/7/2019).
Surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum ATSI Ririek Adriansyah itu menyebutkan penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
Kartu perdana (sim card) merupakan bagian dari media atau alat dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Berdasarkan pasal 4 Undang-undang No. 36 tahun 1999 dinyatakan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
Ririek menilai penjualan kartu perdana oleh Zain tanpa penindakan yang tegas dari Pemerintah, akan menghilangkan kedaulatan Pemerintah atas wewenang yang dimilikinya.
Di samping itu, penjualan kartu perdana operator Zain di Indonesia bertentangan dengan asas dan tujuan penyelenggaraan telekomunikasi sesuai pasal 2 Undang-undang No. 36 tahun 1999 yaitu asas kepastian hukum.
“Apabila operator asing dapat melakukan penjualan kartunya di wilayah Indonesia maka unsur kepastian hukum atas penyelenggaraan layanan international roaming oleh operator telekomunikasi Indonesia menjadi tidak terpenuhi,” kata Ririek,
Ririek menambahkan Pemerintah harus menjamin kepastian berusaha bagi operator Indonesia melalui kepastian hukum atas penyelenggaraan layanan international roaming sebagai bagian dari penyelenggaraan telekomunikasi bagi warga negara Indonesia.
Di samping itu, Ririek juga berpendapat bahwa dengan hadirnya Zain hilang potensi peluang pasar akibat persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh operator Zain. Selain itu, beroperasinya operator Zain dapat berpotensi pada berkurangnya pendapatan negara melalui PNBP dan pajak.
“Hal ini bertentangan dengan pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 9 tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) jo. pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Komunikasi dan Informatika,” kata Ririek.
Ririek juga melihat bahwa penjualan kartu perdana Zain merugikan Jemaah haji Indonesia, karena penyampaian informasi produk tidak terkomunikasi dengan baik.
Dia mengatakan penggunaan Bahasa Arab dalam proses penawaran membuat calon Jemaah Haji tidak mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan selama memanfaatkan kartu perdana tersebut.
“Sehingga hak-hak konsumen sesuai pasal 4 jo. pasal 7 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi tidak terpenuhi,” kata Ririek.
Oleh karena itu, ATSI mendorong agar sejumlah kementerian terkait saling berkordinasi untuk menghentikan penjualan kartu perdana Zain selama investigasi dilakukan untuk menghindari kerugian, baik di sisi negara maupun masyarakat sebagai konsumen.
“Kami mendapat banyak laporan bahwa calon jemaah haji mendapatkan kesulitan untuk menggunakan layanan pada kartu Zain yang telah dibeli,” kata Ririek.