Ilmuwan: Jangan Remehkan Dampak Badai Matahari, Ini Buktinya!

Renat Sofie Andriani
Jumat, 15 Maret 2019 | 10:13 WIB
Warga melintas di padang rumput saat matahari terbenam di Depok, Jawa Barat, Jumat (22/9). Sejumlah wilayah di Indonesia pada Sabtu (23/9), akan mengalami fenomena Equinox, yakni fenomena astronomi ketika matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa yang berdampak pada peningkatan suhu udara rata-rata maksimal sekitar 32-36 derajat Celcius. ANTARA-Indrianto Eko Suwarso
Warga melintas di padang rumput saat matahari terbenam di Depok, Jawa Barat, Jumat (22/9). Sejumlah wilayah di Indonesia pada Sabtu (23/9), akan mengalami fenomena Equinox, yakni fenomena astronomi ketika matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa yang berdampak pada peningkatan suhu udara rata-rata maksimal sekitar 32-36 derajat Celcius. ANTARA-Indrianto Eko Suwarso
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Para ilmuwan baru saja menemukan bukti dampak dari badai matahari hebat yang terjadi sekitar 2.679 tahun yang lalu. Ledakan plasma dan radiasi elektromagnetik dari matahari berdampak serius pada kehidupan, jadi penting bagi kita untuk benar-benar memahaminya.

Bukti yang berhasil digali adalah dalam bentuk partikel radioaktif yang sebelumnya tersembunyi di bawah lapisan es Greenland. Menurut para ahli, peristiwa di masa purba itu bisa menjadi salah satu badai matahari terbesar yang pernah menghantam Bumi.

Jika badai berskala serupa menyerang planet kita hari ini, konsekuensinya akan menjadi bencana. Tak hanya mengganggu sinyal radio dan komunikasi satelit, badai itu dapat menonaktifkan jaringan listrik dan merusak seluruh sistem modern di berbagai bidang mulai dari perbankan hingga transportasi.

“Jika badai matahari itu terjadi dewasa ini, maka bisa memiliki efek parah pada kehidupan masyarakat yang berteknologi tinggi,” terang salah satu peneliti, pakar geologi Raimund Muscheler dari Lund University di Swedia, sebagaimana diberitakan Science Alert.

“Itulah sebabnya kita harus meningkatkan perlindungan masyarakat terhadap badai matahari,” lanjutnya mengingatkan.

Menggunakan inti es yang diekstraksi di Greenland, diperkirakan mengandung es yang terbentuk selama lebih dari 100.000 tahun terakhir, Muscheler dan timnya mampu mengetahui peristiwa badai matahari yang signifikan pada tahun 660 SM.

Tanda-tanda yang terlihat adalah peningkatan kadar isotop berilium-10 dan klorin-36 yang tertanam di dalam es. Keduanya merupakan bukti reaksi kimia yang dimulai oleh aktivitas matahari yang mencapai melalui perisai magnet Bumi ke permukaan.

Dalam hal ini, peristiwa itu adalah Solar Proton Event atau SPE, jenis badai matahari yang sangat intens dimana partikel yang dilepaskan termasuk proton berenergi tinggi.

Peristiwa SPE di antaranya mempengaruhi Kanada pada tahun 1989 dan Swedia pada tahun 2003. Namun peristiwa yang terjadi hampir 2.700 tahun yang lalu itu tampaknya 10 kali lebih kuat daripada badai apa pun yang mereka deteksi dalam 70 tahun terakhir.

“Ada peristiwa partikel energi matahari berenergi tinggi, atau peristiwa proton matahari. Ini adalah partikel energi tinggi yang langsung mengenai Bumi dan menghasilkan partikel yang kami ukur,” ungkap Muscheler kepada BBC News.

“Hal lain yang juga terhubung padanya adalah partikel energi lebih rendah yang biasanya datang dalam satu hingga empat hari ke Bumi. Ini menghasilkan badai geomagnetik,” jelasnya.

Para peneliti juga sebelumnya menemukan kejadian serupa pada 774-775 M dan 993-994 M. Hasilnya adalah bahwa badai besar ini terjadi secara lebih teratur daripada yang kita duga dan bisa lebih kuat daripada apa pun yang kita lihat di era modern.

Pada tahun 660 SM, tidak ada yang akan benar-benar melihat ledakan tambahan dari partikel matahari, kecuali mereka yang memiliki ketertarikan pada efek aurora di langit.

Dewasa ini, radiasi tambahan akan berpotensi berbahaya bagi para astronot dan penumpang yang terbang di pesawat dengan altitude yang tinggi, selain mengancam banyak teknologi modern yang kita andalkan.

Sementara itu, peristiwa badai matahari terbesar yang pernah terjadi, adalah antara 774-775 M dan 660 SM. Kedua periode ini memiliki kesamaan dalam hal skala besarnya berdasarkan catatan yang dihimpun oleh para ilmuwan dari inti es dan lingkaran tumbuh pohon (tree rings).

Beberapa peristiwa di atas tidak cukup untuk membentuk prediksi di masa depan. Dibutuhkan lebih banyak data untuk membantu kita menjabarkan ancaman badai matahari dengan lebih tepat.

Namun sementara itu, akan bijaksana jika kita mengembangkan sistem dan peralatan yang tidak akan hancur jika peristiwa pada 660 SM terulang.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa risiko [badai matahari] dewasa ini diremehkan. Kita harus lebih siap," tandas Muscheler.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Editor : Fajar Sidik
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper