Bisnis.com, JAKARTA – Dunia memasuki era saat teknologi memainkan peran utama dalam pergerakan ekonomi. Artinya, kapital atau modal bukan lagi faktor paling penting dalam ekonomi, melainkan teknologi.
Contoh paling sederhana, jaringan penginapan terbesar di dunia tidak memiliki satu kamar pun, yakni Airbnb, atau penyedia akses film terluas yang tidak memiliki bioskop, Netflix. Indonesia memiliki Go-Jek sebagai perusahaan yang salah satunya bergerak di bidang transportasi, tetapi bisa dikatakan sama sekali tidak memiliki armada.
Shinta Dhanuwardoyo, pegiat digital dan pendiri salah satu tech-based company pertama di Indonesia bubu.com, mengatakan Indonesia sejatinya memiliki potensi yang besar, alih-alih hanya menjadi pasar bagi pemain lain. Namun demikian, tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah sumber daya manusia yang mumpuni di bidang teknologi.
"Kita punya masalah besar di high talented programmers, itu adalah masalah besar, itu adalah hal pertama yang perlu kita perbaiki sebelum bicara lebih jauh soal digital ekonomi," ujar Shinta.
Lanskap digital yang menunjukkan Indonesia sebagai negara seluler dengan 120 juta pengguna sosial media tentu merupakan ceruk pasar yang menggiurkan. Shinta memiliki mimpi untuk mengubah Indonesia menjadi pemain di era teknologi dalam 20 tahun ke depan.
Berbicara tentang ekosistem digital dan ekonomi, menurut Shinta hal pertama yang terlintas adalah keberadaan startups. Sehingga jika ingin menjadikan negara ini menjadi pemain di era digital, startup dengan valuasi US $1 miliar atau unicorn yang menjadi tumpuan.
Dengan demikian, menjadi tugas bersama antara pemerintah dan para stakeholder untuk menciptakan sebanyak mungkin startup yang mampu bersaing di ekonomi dunia. Namun, meski potensinya besar, Indonesia memiliki tantangan yang tak kalah serius.
Tantangan selanjutnya, pondasi dasar startup yang perlu dibangun berupa model bisnis yang berkelanjutan. Shinta menjelaskan, stratup terus bermunculan di Indonesia setiap hari. Namun hal pertama yang dilakukan oleh sebagian besar dari pendiri startup adalah bagaimana mencari investor.
"Kamu bisa mencari semua investor itu, tetapi ide dasar membangun startup adalah membangun perusahaan, pastikan bisa menghasilkan uang dan memiliki model bisnis yang baik. Jika tidak, jangan berani memulai sebuah perusahaan," katanya.
Mengatasi masalah-masalah tersebut, Shinta mendirikan sebuah organisasi nonprofit yang setiap tahun memberangkatkan pendiri startup Indonesia mengunjungi Silicon Valey, Amerika Serikat. Startup yang terpilih berkesempatan bertemu dengan orang-orang dibalik besarnya perusahaan teknologi dunia seperti Facebook, Google atau Apple. Dengan menjalankan program tersebut, Shinta berharap bibit-bibit startup Indonesia mampu menemukan jalan untuk mengembangkan perusahaan.