Bisnis.com, JAKARTA — PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Manulife Indonesia), salah satu perusahaan patungan atau joint venture yang paling awal meramaikan industri asuransi, terus mencatatkan peningkatan usaha. Bisnis berkesempatan mewawancarai President Director & CEO Manulife Indonesia Jonathan Hekster. Pria yang memimpin Manulife Indonesia sejak 1 September 2017 itu pun mengungkapkan potensi bisnis asuransi jiwa di Indonesia dan sejumlah rencanya. Berikut petikannya:
Bagaimana perkembangan bisnis Manulife di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir?
Saya sebenarnya sangat senang melihat kemajuan yang sampai sekarang kami realisasikan. Jadi, pada tahun lalu premi baru kami tumbuh sekitar 19%. Pada tahun ini pun, semester I/2018 bertumbuh double digit.
Jadi, walaupun keadaan ekonomi tidak terlalu mendukung, dalam arti ada pelemahan rupiah dan ada ketidakpastian politik, tetap saja penjualan kami memuaskan.
Sebenarnya, yang lebih penting bagi saya adalah punya net promoter score (NPS). Kami kaji, survei nasabah kami tentang bagaimana mereka merasakan layanan kami. Angka itu, dalam 3 tahun, kalau tidak salah dari sekitar 30-an menjadi 50.
Apa artinya NPS 50 itu, apakah memuaskan atau tidak?
NPS 50 itu lumayan. Artinya, bahwa karyawan kami atau tim saya benar-benar fokus terhadap pelayanan nasabah. Mereka pun puas. Kami tahu bahwa ini bisnis yang sangat istimewa.
Kami sebenarnya ‘tidak punya produk’. Produk kami hanya kertas dengan janji dalam waktu 20 tahun ke depan, sehingga kepercayaan bagi kami sangat penting. Oleh karena itu, saya sangat puas bahwa NPS kami naik dengan cepat.
Apakah ada target khusus bersama Manulife Indonesia yang diamanatkan oleh pemegang saham?
Sebenarnya Manulife sudah cukup lama di Asia. Sudah 33 tahun di Indonesia dan 120 tahun di Hong Kong serta Filipina. Jadi, manajemen kami sangat mengerti soal Asia. Mereka juga lihat peluang di Indonesia sangat besar karena ada 260 juta orang penduduknya.
Sebenarnya saya tidak dibebankan target khusus atau spesifik. Namun, pesannya adalah untuk memastikan kami menjadi salah satu asuransi jiwa yang besar di Indonesia. Apalagi, sekarang ada sekitar 60 perusahaan asuransi jiwa di Indonesia. Yang penting kami sudah menjadi di top . Artinya, misi saya sudah tercapai.
Bagaimana caranya mewujudkan target itu?
Dari dulu Manulife terkenal sebagai pencipta produk yang sangat inovatif. Jadi, misalnya, pada 1999 Manulife sebenarnya asuransi jiwa pertama yang mengeluarkan unit-linked . Sekarang sudah banyak yang mengeluarkan unit-linked. Dahulu, tidak ada. Kami yang pertama.
Kemudian, kami juga punya produk yang namanya Primajaga, produk khusus untuk golongan tengah maupun rendah dengan premi yang sangat kecil, yakni Rp100.000 sebulan. Inovasi ini membantu masyarakat untuk sukes.
Jadi, kalau saya bandingkan dengan perusahaan yang lain, sepertinya kami banyak mengeluarkan produk yang inovatif dan berbeda. Dengan begitu, lebih gampang juga bagi agen kami menawarkan produknya ke pasar.
Kedua, mungkin customer service level. Kami akan investasikan sekitar US$10 juta untuk meningkatkan customer relationship management system. Jadi, ini agar lebih memudahkan interaksi kami dengan nasabah.
Ini investasi yang cukup besar dan harapan saya adalah dengan tingkat service level yang lebih bagus lagi, nasabah akan semakin senang berinteraksi. Sebenarnya, saya sudah sangat senang dengan layanan saat ini, tetapi masih ada kesempatan untuk meningkatkan proses-proses dasar di perusahaan kami.
Bagaimana Anda melihat perkembangan industri asuransi di Tanah Air saat ini?
Ini selalu dikatakan bahwa peluangnya sangat luar biasa. Namun, kenyataan yang ada juga menunjukkan bahwa persaingan pasar mulai ketat. Sekarang, ada 57 atau 61 perusahaan asuransi jiwa di Indonesia.
Saya rasa, misalnya kalau asuransi membutuhkan orang aktuaris atau soal risk, SDM-nya belum tentu ada. Itu saya rasa salah satu tantangan sektoral yang ada.
Kedua, soal tax incentive di Indonesia dibandingkan dengan negara lain, sebenarnya masih bisa lebih bagus. Kalau pemerintah mau rakyat Indonesia kumpulkan dana untuk masa depan mereka, harus ada insentif agar asuransi jiwa lebih atraktif dan banyak yang membeli.
Ketiga, dan ini yang sangat penting, adalah soal kesadaran . Soal ini, BPJS sangat membantu sebenarnya. Sebelum BPJS hadir, hampir semua orang tidak mengerti kenapa harus membeli asuransi.
Sekarang, kalau agen-agen kami bicara dengan nasabah, makin sering mereka bilang bahwa ini mirip dengan BPJS. Itu sangat penting, menurut saya.
Namun, itu masih belum cukup. Kalau dilihat, masyarakat secara keseluruhan masih banyak yang belum mengerti. Jadi, itu mungkin tantangan secara sektoral yang mesti diatasi.
Apakah regulasi yang ada saat ini sudah cukup mendukung pertumbuhan industri asuransi, atau masih dibutuhkan relaksasi?
Saya pertama kali tinggal di Indonesia pada 1994. Jadi, masih ingat soal Bank Indonesia dan Bapepam .
Kalau saya membandingkan OJK sekarang dengan institusi yang ada 25 tahun lalu, saya sebenarnya sangat senang melihat perkembangan profesionalisme, pengertian dan juga soal sikap mereka yang tidak terlalu kaku.
Misalnya, bila ingin mengeluarkan peraturan, mereka konsultasi dahulu dengan pelaku. Apakah itu bisa diterima atau tidak? Sangat profesional dan sangat mendukung perkembangan sektor asuransi. Saya pikir kalau dibandingkan dengan banyak negara lain, kerja sama antara perusahaan dan pengawas di Indoensia sangat harmonis.
Bagaimana strategi pengembangan SDM di Manulife sehingga bisa secara optimal dan menghasilkan kinerja yang lebih baik?
Kami sudah 33 tahun di Indonesia. Sebenarnya, Manulife Indonesia menjadi perusahaan asing kedua yang masuk ke Indonesia. Itu ada keuntungan dan ada kendala juga. Keuntungannya adalah kami menjadi brand yang sangat terkenal.
Bila kami ke ITB atau UI, pasti orang milenial setidaknya pernah mendengar soal kami, misalnya karena orang tuanya mungkin pernah punya produk kami. Dengan begitu, untuk menarik minat milenials yang mutunya luar biasa tidak menjadi kendala.
Namun, karena sudah 33 tahun, kami juga punya cara kerja yang sudah pakem. Itu belum tentu selalu cocok dengan orang milenial. Jadi, menurut saya, tantangannya adalah bagaimana memberdayakan mereka untuk menjadi senior. Kadang-kadang mereka ingin cepat, tetapi itu belum bisa.
Bagaimana gaya Anda memimpin perusahaan?
Saya memang bukan orang Indonesia, tetapi kalau soal pengertian dan pemahaman soal situasi dan kondisi di sini, bagi saya yang sangat penting adalah gotong-royong. Itu semboyan yang dahulu dipakai, cukup lama tidak dipakai, dan sekarang diperkenalkan lagi di perusahaan kami. Menurut saya ini sangat penting.
Saya berharap dengan management style saya, para karyawan berani berbicara dan berani mengeskalasikan masalah. Yang ingin saya hindari adalah sikap ‘asal bapak senang’. Oleh karena itu, saya selalu membiarkan pintu ruangan saya terbuka. Saya ingin memberikan tanda kepada karyawan bahwa kalau ada sesuatu silahkan masuk saja.
WhatsApp saya, mungkin sekitar 50 karyawan punya, dan itu bukan hanya di tingkat manajemen. Bahkan, ada customer service. Dengan begitu, saya harap dialog terjalin dan mereka berani berbicara dengan saya dan saya tahu apa yang harus dibenahi. Harapan saya, management style itu bisa diterima.
Adaka tokoh inspiratif yang berpengaruh pada pandangan pribadi dan gaya kepemimpinan Anda?
Saya sebenarnya sangat mengagumi Pak Agus Martowardoyo. Beliau, saat sektor perbankan kacau balau, diberikan 6 bank yang sangat berbeda dari sisi budaya. Beliau menerimanya tanpa memecat orang.
Dia menerima tim, dan dengan disiplin luar biasa, serta fokus setiap hari hingga akhirnya Bank Mandiri bisa berdiri dan menjadi salah satu bank yang paling kuat. Bukan hanya di Asia, menurut saya, paling kuat di dunia.
Beliau bisa saja memecat semua karyawannya, tetapi dia justru mengambil timnya dan memperbaiki bersama. Itu menurut saya sangat luar biasa.
Tokoh satu lagi adalah K.H. Abdurrahman Wahid. Menurut saya beliau adalah tokoh dengan sikap penuh toleransi di Indonesia. Misalnya, 25 tahun lalu orang Tionghoa tidak bisa merayakan Imlek, dan kalau sekolah tidak boleh menggunakan identitas tertentu. Dia mengubah semua itu. Itu luar biasa.
Apa mimpi atau cita-cita yang sangat ingin Anda wujudkan dalam karier?
Saya sangat berharap di Indonesia kami bisa melayani dan melindungi orang kecil. Kebanyakan nasabah asusransi jiwa sekarang, memang bukan kalangan mapan, melainkan paling sedikit mampu.
Saya kadang mendengar di desa-desa, ada orang yang meninggal dunia teteapi tidak memiliki dana untuk penguburan. Keluarganya meminjam dana, tetapi kesulitan membayar. Padahal, dengan produk yang sederhana dari asuransi jiwa, itu semua bisa dihindari.
Memberikan kenyamanan, keamanan dan ketenangan bagi warga di desa itu sangat penting. Namun, sampai sekarang masih susah untuk sampai ke mereka.
Harapan saya adalah melalui organisasi seperti Fatayat NU, kami bisa melayani keluarga sederhana di desa-desa. Kalau itu bisa terwujud, saya sangat senang. Itu yang membuat saya antusias.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (1/10/2018)