Bisnis.com, JAKARTA - Dalam sejarah negeri ini, sejatinya Indonesia punya para pendebat-pendebat hebat di kalangan elit politik. Sebut saja Agoes Salim, Kasman Singodimedjo, dan Isa Anshary dari golongan kanan. Sementara golongan kiri melahirkan nama-nama Musso, Njoto, dan Sakirman.
Mereka mampu berdebat dengan dan saling melontarkan gagasan yang tetap dalam koridor saling menghargai. Tak hanya itu, muatan dan referensi mereka begitu kaya dalam berdebat baik secara langsung maupun melalui media massa.
Sayangnya, saat ini perdebatan seperti itu nyaris hilang tak tersisa. Perdebatan dalam media sosial misalnya, hanya menyajikan dagelan komentar konyol nan dangkal dari para warganet yang mendebat para pakar dan cendekiawan Indonesia.
Pakar media sosial Nukman Luthfie mengatakan perbedaan yang mendasar pada perdebatan era Kasman dkk. dan sekarang adalah pada mediumnya. Orang zaman dulu berdebat dengan menulis kolom di media massa dan perlu kualifikasi tertentu untuk itu, sementara sekarang siapapun bisa berdebat di media sosial.
Akibatnya perdebatan tidak hanya terjadi di kalangan akademisi atau orang berilmu saja, publik bisa masuk ke dalam perdebatan di antara mereka dengan leluasa. Bahkan, publik juga bisa dengan mudah mendebat langsung pernyataan atau gagasan dari para ilmuwan.
“Kalau zaman dulu output-nya jelas, debatnya ilmiah, media massa menjadi wadah untuk itu. Sekarang berubah, di media sosial debatnya tidak hanya di kalangan mereka. Kalau pakar didebat oleh publik, jadinya kacau,” jelasnya.
Sementara itu, pakar filsafat Universitas Indoensia Rocky Gerung menilai, permasalahan yang sebenarnya terletak pada bagaimana masyarakat melihat tanggapan ataupun gagasan yang dibawa oleh para pakar ke dalam dunia media sosial. Masyarakat Indonesia, menurutnya, masih belum bisa membedakan mana yang data dan mana yang perspektif.
“Belum sampai melihat apakah itu data atau perspektif, belum sampai mendudukan datanya, menganalisis, orang sudah kebelet ingin menyampaikan perspektifnya masing-masing,” katanya.
Dalam kaca mata sosial yang lebih luas Rocky berpendapat kekacauan media sosial sejatinya menandakan juga kejumudan yang terjadi dalam situasi politik yang lebih luas. Perdebatan yang seolah tanpa pedoman dan pedagogis di media sosial, merupakan cerminan persaingan elit politik yang sama kacaunya.
“Kita masih melihat partai politik yang asal saja pilih calegnya. Rapat yang dibaha soal persenan proyek, bukan soal gagasan atau tujuan bernegara. Cacophony [lawan kata dari harmony] yang terjadi di media sosial adalah cerminan cacophony di situasi politik kita,” jelasnya.